22 September 2012

Jelang “NorthWest Derby” Liverpool vs Manchester United


Rivalitas! Tensi Tinggi!

Sebuah rivalitas abadi dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Saya bicara soal rivalitas, sebuah perseteruan antar dua tim besar. Sebuah perseteruan juga persaingan yang kemudian menyeret banyak hal: amarah, benci, tawa, air mata, dan nyawa. Bara panas di Anfield masih tiga hari lagi. Semua mata dan hati fokus menanti duel yang menyeret emosi jutaan orang itu. Isu penting sudah dirilis: penghormatan untuk korban Tragedi Hillsborough— 15 April 1989, ketika 96 fans Liverpool tewas di salah satu tribun Stadion Hillsborough, Leppings Lane, saat menghadapi Nottingham Forest di semifinal Piala FA. Dua direktur dari kedua klub, Ian Ayre dan David Gill sudah bertemu. Mereka sepakat untuk memberikan penghormatan kepada 96 korban yang tewas karena kegagalan polisi menguasai situasi, dan bukan karena para supporter Liverpool penuh alkohol.

Prosesinya sebelum kick-off. Tiga mosaik disiapkan di tiga sisi Anfield:
1.     Pemutaran tembang “You’ll Never Walk Alone” ketika tim masuk lapangan;
2.      Dari Tribun The Kopada spanduk besar dengan tulisan ‘The Truth’ plus angka 96;
3.   Di Centenary Stand ada paparan kata ‘Justice’. Lalu, 96 balon – symbol dari 96 korban yang tewas, akan dilepas oleh dua kapten dari kedua tim, Steven Gerrard dan Nemanja Vidic.

Alex Ferguson setuju dengan prosesi itu. “Ini bentuk penghormatan kita untuk para korban,” ujarnya. “Ini juga bagian dari tanggungjawab kita untuk memastikan pertandingan nanti itu akan dikenang karena sepakbola,” sebut Gerrard. Sederet komentar yang menarik. Menyejukkan.

Apakah sesejuk itu warna pertandingan kedua bebuyut ini Minggu nanti? Saya harus katakan: tidak! Sekali lagi, baranya panas! Sepanas kancah kuali. Lihat bagaimana Ferguson merotasi pemain dalam dua partai terakhir: MU vs Wigan dan MU vs Galatasaray. Simak juga spirit Wayne Rooney berlatih, melupakan laga vs Galatasaray dan lebih memilih fokus ke Anfield. Liverpool? Sami mawon. Empat laga sudah dilewati mereka di Liga Premier tanpa kemenangan. Era kebangkitan mulai dirasakan skuad Brendan Rodgers saat memainkan hasil imbang 1-1 kontra Southampton. Dan, tahukah Anda, demi sebuah rivalitas abadi, mala mini Rodgers menyimpan hampir separuh skuadnya ketika melawat ke kandang Young Boys dalam laga pertama fase grup Liga Europa.

Tidak ada Gerarrd, Luis Suarez, Pepe Reina, Glen Johnson, Martin Skrtel, Daniel Agger, Joe Allen hingga Martin Kelly. “Liga Premier adalah prioritas kami,” ujar Rodgers. Hmm… Secara implisit, yakinilah, itu kalimat bersayap dia: “Manchester United adalah prioritas kami.” Ketika ada upaya untuk mendinginkan panasnya rivalitas kedua tim, jelang Derby of England – banyak orang juga bilang ini North-West Derby — ketika itu pula kedua tim terus menjaga keabadian rivalitas mereka.

Nah, bicara rivalitas memang menarik. Semua ini bermula dari derby, dalam arti local derby: pertarungan dua tim satu kota yang membuat partai itu bergengsi. Tapi kemudian istilah derby berkembang luas. Tak hanya melibatkan tim-tim yang berada dalam satu kota tapi juga melibatkan tim-tim besar dengan tingkat rivalitas tinggi. Dan, buat tim, apalagi para supporter, derby dengan rivalitas tinggi ini adalah simbol terhadap kebanggaan, fanatisme, status sosial dan harga diri. Di situ ada kegembiraan, kesedihan, kebencian, amarah. Mediumnya variatif: spanduk caci maki, poster penghinaan, lagu, slogan, yel-yel. Maka, kalau sudah begini, sepakbola yang keras, indah, impresif, mengagumkan bisa menjadi masalah hidup dan mati. Sekali lagi, di situ ada gengsi dan harga diri.

Liverpool vs United masih tiga hari lagi. Tapi gengsi dan harga diri orang-orang di belakang kedua tim sudah terasah sejak setengah abad silam. Sesuatu yang juga bisa dirasakan dalam beberapa partai dengan tajuk rivalitas abadi di beberapa Negara lain. Keindahan sepakbola bisa berubah menjadi bencana ketika kebencian, status sosial, harga diri, perasaan tertindas, pengakuan dan banyak lagi, mulai dimainkan. Dan cerita soal ini bederet, hampir di seluruh permukaan bumi. Ya, magis sepakbola bisa melahirkan kerusuhan, bentrok, chaos. Semua soal hidup dan mati. Ada banyak derby dengan rivalitas abadi yang bisa jadi contoh. Brasil punya ‘Derby Paulista’, Corinthians vs Palmeiras, duel dua tim dari kota tertua Sao Paulo yang pernah menjadi bagian dari film Romeo And Juliet. Yunani punya Olympiakos vs Panathinaikos yang dikenal dengan laga ‘Gate 7’ vs ‘Gate 13’. Di Turki ada derby Fenerbahce vs Galatasaray, dua tim dari kota Istanbul yang hanya dipisah selat Bosporus.

Argentina punya ‘SuperClassico’, Boca Juniors vs River Plate yang berdarah-darah. Sama seperti ‘Egypt Derby’, Zamalek vs Al-Ahly, sampai pihak keamanan Mesir harus membuat rute jalan yang berbeda untuk para supporter kedua tim. Di Serbia ada derby abadi, Partizan vs Red Star yang kalau kedua tim berlaga, kota Beograd seperti kuburan. Tahu The Old Firm? Ini adalah tajuk derby antar dua rival dari kota Glasgow, Celtic vs Rangers. Dan, tahukah Anda, setiap usai laga, pasien rumah sakit di kota Glasgow naik 17 persen? Ahahaa.. Kita pindah ke Italia. Di situ ada Della Madonnina, ibu segala derby – maklum patung Bunda Maria ada di Milan — yang mempertemukan AC Milan vs Internazionale. Ada juga derby Della Capitale: Roma vs Lazio yang terkenal ‘mengerikan’ dengan symbol ‘Curva Sud’ vs ‘Curva Nord’. Di kota Turin ada derby della Mole: Juventus vs Torino. Secara nasional, saya juga harus sebut Derby Italia antar Juventus vs Inter, sama seperti derby Prancis: Paris SG vs Marseille.

Di Spanyol, yang paling terkenal tentu saja El-Classico Madrid vs Barcelona, dua klub besar dan paling sukses yang mewakili dua daerah seteru, Katalunya vs Kastil. Rivalitas mereka diperparah ketika Bernd Schuster (1988), Michael Laudrup (1994) dan Luis Figo (2000) membelot ke Real Madrid dan Luis Enrique membelot ke Barcelona tahun 1996. Kalau Belanda punya De Klassieker, Ajax Amsterdam vs Feyenoord Rotterdam, tapi yang paling seru tentu saja ‘Derby of Indonesia’, Persija Jakarta vs Persib Bandung. Ini laga dengan tensi tinggi, rawan, dan kerap menyulitkan aparat keamanan. Hampir mirip misalnya dengan permusuhan Persebaya-Arema Malang atau Persisam Samarinda-Persiba Balikpapan. Cukup banyak memang contoh partai-partai dengan label derby dan dengan rivalitas tingkat atas. Semuanya menyodorkan tensi tinggi, mengurasi emosi, mengumbar kebencian, meluapkan amarah dan menyodorkan cerita-cerita chaos. Dan lagi-lagi saya harus katakan sumbernya luar-dalam, teknis-nonteknis. Soal harga diri, kesenjangan ekonomi, perasaan tertindas, gengsi, keakuan, sikap-sikap egosentris yang kemudian berkembang menjadi “warna lain” dari keindahan sepakbola itu sendiri.

Banyak memang upaya untuk memunculkan perdamaian. Derby Merseyside misalnya, ketika fans Everton dan Liverpool pernah mengajukan slogan ‘Merseyside United’, tapi tak pernah berakhir dengan senyum. Sama seperti upaya perdamaian The Jak dengan Viking yang masih sebatas wacana. Atau juga Derby of Great London, Arsenal vs Chelsea, yang kalau mereka berlaga maka kota London dibelah warna merah dan biru. Jika ada ‘Tribute of Hillsborough’ pada Minggu (23/9) ini dalam ‘Derby of England’ Liverpool vs Manchester United, lantas apakah rivalitas mereka akan jadi sejuk dan tensinya jadi menurun? Dan lalu kita semua hanya akan menyaksikan para bintang berlaga tidak dengan label kebencian, kemarahan, gengsi, harga diri? Dan lalu juga kita tidak akan menyaksikan para supporter meninggalkan Anfield dengan damai, berangkulan, dan tanpa rusuh?
Rivalitas dengan tensi tinggi Liverpool vs United ini memang meninggalkan banyak cerita. Dan, seperti yang juga berlaku kebanyakan di banyak label derby lainnya, maka derby of England ini juga banyak dipicu oleh aksi-aksi pemain dan, jangan bantah: fans! Sebuah rivalitas dengan tensi tingkat tinggi yang wajib dinanti.

Sejarah Panjang Rivalitas MU dan Liverpool

Beberapa orang berpikir sepak bola adalah hidup dan mati. Tapi saya yakinkan Anda, ini akan jauh lebih penting daripada itu semua.“- William “Bill” Shankly.

Pernyataan yang dilontarkan dari bibir manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, itu seakan menjadi gambaran sesungguhnya ketika menyaksikan rivalitas terbesar dalam ziarah sepak bola Inggris antara Liverpool dan Manchester United. Nama besar kedua tim seakan menjadi ikon yang tak bisa lepas dan saling melengkapi satu sama lain di dalam ranah sepak bola Inggris saat ini. Jika ditarik ke belakang, rivalitas Liverpool dan MU ini tak bermula dari urusan lapangan semata. Dunia bisnislah yang pertama kali membuat api rivalitas menggelora dalam sejarah dua klub tersebut. Pada abad ke-19, hubungan kedua kota itu awalnya sangat harmonis, karena Liverpool terkenal sebagai kota pelabuhan besar di Inggris, dan Manchester merupakan kota pertama yang perekonomiannya cukup maju semenjak revolusi Inggris.

Namun, hubungan manis itu harus retak pada akhir 1878. Depresi dunia ketika itu, membuat Manchester “menyalahkan” Liverpool karena dianggap telah memberlakukan tarif tinggi bagi jalur distribusi produk-produk mereka. Kecewa, Manchester lantas membangun pelabuhan sendiri untuk mendistribusikan hasil industri kotanya ke seluruh dunia pada 1894. Langkah itu, secara tidak langsung akhirnya membuat pendapatan kota dan penduduk di Liverpool turun dengan drastis. Semenjak inilah awal aroma kebencian masyarakat kedua kota itu terjadi. Para Scouse, sebutan warga Liverpool, menilai Mancunian, sebutan bagi warga Manchester, sebagai biang kerok dibalik kekacauan yang terjadi di kotanya.

Kebencian ini pula yang kemudian merasuki ranah sepak bola. Untuk urusan lapangan hijau, Liverpool memang lebih dulu “besar” dibanding dengan MU. Meskipun MU merupakan tim Inggris pertama yang memenangkan Piala Champions pada 1968, namun kesuksesan di era tersebut memang harus diakui adalah milik Liverpool. Memasuki era 1970-an, di bawah kepemimpinan Bill Shankly, Liverpool berubah menjadi raksasa sepak bola di Inggris maupun di Eropa. Di era ini, Liverpool menyabet 11 gelar juara Liga dan empat juara Piala FA. Termasuk juga prestasi mereka meraih Treble Winners pada tahun 1984 dengan menyandingkan gelar juara Liga dengan Piala FA dan Piala Champions. Bahkan, pada 1974, “The Reds” dapat tertawa bangga karena dapat meraih sukses di papan atas Liga dan Piala FA disaat MU harus rela bermain di Divisi II.

Rivalitas itu kembali memanas memasuki era 1990-an, ketika pelatih asal Skotlandia, Sir Alex Ferguson, memulai karirnya bersama MU. Bahkan, di awal karirnya itu, Ferguson sempat dengan lantang mengatakan bahwa hal terindah bagi dirinya adalah ketika “memukul” Liverpool yang sedang berada di puncak kesuksesan. Dan pernyataan itu, bukanlah isapan jempol semata. Fergie membuktikannya tiga tahun setelah memulai karirnya bersama MU pada 1986. Fergie memberikan gelar Piala FA pertamanya untuk MU pada 1990. Setelah itu, giliran MU yang berubah bak raksasa Inggris dan dapat tertawa manis di atas “kesuksesan” Liverpool yang terakhir kali meraih gelar Liga Inggris pada 1989. Di era ini, MU mampu meraih 11 gelar juara liga dan 2 kali juara Liga Champions. Secara keseluruhan, gelar juara Premier League tahun lalu telah menjadikan MU sebagai pemegang koleksi juara terbanyak dengan 19 gelar, mengalahkan Liverpool dengan 18 gelar.  Namun, jika melihat gelar di Eropa, Gerrard dan kawan-kawan jelas lebih unggul dengan raihan lima gelar Liga Champions dibanding MU yang baru mengantongi tiga gelar.

Persaingan keduanya betul-betul sangat berlatar belakang ekonomi. Manchester dikenal karena industrinya. Liverpool karena pelabuhannya. Penduduk Liverpool saat itu betul-betul menikmati kejayaan ekonomi karena semua ekspor di kawasan barat laut Inggris harus melalui kota pelabuhan ini. Tapi sejak tahun 1887-1894 dibangunlah sebuah kanal sepanjang 58 km yang memberi Manchester akses langsung ke laut. Sejak saat itu runtuhlah kejayaan Liverpool. Ribuan orang menganggur. Muncullah kebencian terhadap kota Manchester. Kebencian ini diwariskan dari ayah pada anak-anaknya, lalu pada cucu-cucunya, dan seterusnya sampai saat ini. Pada periode 1970-1980 kedua kota sama-sama menderita karena kelesuan ekonomi yang melanda seluruh dunia. Tapi penduduk Liverpool masih bisa terhibur oleh penampilan The Reds yang mencapai puncaknya pada periode ini. Mereka juara liga 5 kali di masa ini. Sebanyak lima kali juga merebut trofi di level Eropa.

Sementara di saat yang sama Manchester United (dan juga Manchester City) tengah mengalami periode lesu darah paling kelam dalam sejarah mereka. Ini menghasilkan semacam balas dendam dari Liverpool dalam bentuk ejekan-ejekan yang mendidihkan darah warga Manchester. Mungkin juga kebangkitan Manchester diawali dari masa itu. Sebab setelah itu, giliran grafik prestasi The Reds yang terus menurun. Sampai hari ini, rivalitas keduanya secara statistik membuktikan MU lebih unggul 72 vs 62, dengan 51 laga lainnya draw. Tidak heran jika pertarungan keduanya merupakan salah satu yang paling ditunggu, bukan saja di Inggris tapi juga di seluruh dunia. Laga derby Inggris terakhir berujung dengan skor 2-1 untuk tuan rumah MU, meski di 3 laga sebelumnya Liverpool yang menang atau draw.
Saking kerasnya persaingan antar keduanya, tak ada transfer pemain antar kedua klub sejak tahun 1964. Kalau pun ada pemain salah satu klub yang akhirnya bermain di klub rivalnya, mereka melalui klub lainnya terlebih dulu, misalnya adalah Michael Owen yang terlebih dulu main di Real Madrid dan Newcastle United. Selain itu juga ada nama legendaris Paul Ince yang terlebih dulu main di Inter Milan.

5 Laga Penuh Rivalitas

Riuh rendah penonton perlahan semakin nyaring seiring ditiupnya peluit pada sebuah pertandingan. Rivalitas dua tim, inilah yang membuat sebuah olah raga dapat terus berjalan. Batas wilayah, kesuksesan tim, bahkan terkadang alasan yang tidak terlalu jelas bagi para pendukung fanatik sebuah tim sekalipun dapat menjadi akar sebuah rivalitas. Rivalitas merupakan sebuah bagian penting dalam sebuah pertandingan, sama pentingnya seperti sebuah bola dan peluit, hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah pertandingan. Italia memiliki Derby Roma, Spanyol punya El Classico, dan Skotlandia dengan The Old Firm mereka. Satu rivalitas yang tidak mungkin disaingi semua laga tersebut adalah kebencian antara dua tim tersukses di daratan Inggris, yaitu Liverpool dan Manchester United. Sangat menarik bila ditanya soal rival terbesar pendukung Liverpool, mereka akan kompak menjawab, “Kami benci Mhancunian!”. Jawaban penuh kebencian yang segera akan muncul kembali.

Sejarah panjanglah yang memperpanas rivalitas kedua tim ini. Posisi United sebagai pemimpin pemimpin dalam raihan trophy liga ini telah menambah panjang rentetan kebencian Fans Liverpool. Jika United berhasil menyabet gelar EPL tahun ini, torehan gelar EPL Liverpool akan berada pada urutan ke-dua, dua gelar tertinggal dari United. Tentu The Kop tidak menyukai urutan ke-dua. Berikut adalah lima ulasan laga paling panas yang dapat memberi gambaran rivalitas kedua tim selama beberapa dekade terakhir. Berbagai raihan positif keduanya telah memberi sumbangan terhadap luapan emosi para pendukung mereka yang akan menyaksikan pertemuan keduanya Minggu malam nanti dengan kostum kebanggaan masing-masing. Ada banyak hal di antara rivalitas keduanya tapi beberapa ulasan berikut cukup mewakili gambaran persaingan kedua tim.

24 Januari 1999: “Treble Winner Pertama United”
Manchester United 2 Liverpool 1
Musim 1999 tidak akan dilupakan fans United. Tiga gelar yang diperoleh United di ajang Liga Premier, FA Cup, dan European Cup dibumbui dengan kemenangan penting atas Liverpool pada putaran ke-empat FA Cup. Anak ajaib Liverpool, Michael Owen, membuka keunggulan Liverpool di menit ke-3 sekaligus membuat puluhan ribuan pendukung United membisu. Langkah United seakan terhenti sebelum pertandingan berakhir hingga akhirnya Yorke menyamakan kedudukan pada menit ke-88. Solkjaer mungkin tepat dijuluki The Baby’s face Assassin karena golnya di menit ke-90 berhasil menyingkirkan Liverpool dari ajang FA Cup. Tahun 1999 United berhasil melewati semua tim yang menghalangi mereka untuk mendapatkan treble winner pertama mereka. Dibutuhkan usaha keras hingga menit akhir untuk dapat mewujudkan pencapaian ini. United membuktikan bahwa mereka adalah tim yang solid dan mampu mewujudkan pencapaian terbaik mereka.

17 Desember 2000: “Pernyataan Fenomenal Houllier”
Manchester United 0 Liverpool 1.
United selalu menang atas Liverpool selama sepuluh pertandingan terakhir kala itu. Yang menarik adalah sebuah pernyataan fenomenal dari manajer Liverpool saat itu, Gerard Houllier, yang dilontarkan sebelum pertandingan. “Kita akan mengalahkan mereka suatu hari nanti, saya bersumpah!”, ujar Houllier yang membakar semangat. Pernyataan itu terbukti berhasil mengakhiri tradisi kemenangan United atas Liverpool. Tendangan bebas Danny Murphy sesaat sebelum turun minum berhasil membungkam pendukung Red Devils sekaligus mengakhiri kutukan United atas Liverpool. Walaupun kalah, United berhasil mengakhiri musim itu dengan trofi EPL di tangan mereka. Liverpool juga berhasil meraih treble winners, tiga piala mereka peroleh dari Worthington Cup, FA Cup dan yang terakhir adalah UEFA Cup. Akhir manis bagi kedua tim.

22 Januari 2006: “Gary Neville dan Selebrasi Provokatif”
Manchester United 1 Liverpool 0
Laga ini menjadi alasan mengapa para fans setan merah begitu mencintai mantan skipper United ini. Terutama cara ia mengajari fans Liverpool tentang arti rasa terhina yang sebenarnya. Dalam laga ini walaupun Liverpool memiliki sejumlah peluang emas untuk mencetak gol namun lini depan mereka sering membuang kesempatan itu. Kemenangan United ditentukan lewat umpan silang Giggs yang diselesaikan dengan sundulan keras Rio Ferdinand ke arah gawang Liverpool. Gol tercipta dan Neville melakukan selebrasi tepat di depan pendukung Liverpool. Selebrasi ini berimbas denda sebesar £5000 kepada Neville dan tentu saja memicu kekacauan setelah pertandingan berakhir.

23 Maret 2008: “Mascherano Keluar, Liverpool Rata”
Manchester United 3 Liverpool 0
Diusirnya Javier Mascherano benar-benar membawa kehancuran bagi Liverpool kala itu. Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, serta Ryan Giggs benar-benar leluasa dalam membombardir pertahanan Liverpool. Di akhir musim United berhasil memastikan tim mereka merajai daratan Inggris dan Eropa. Membiarkan Liverpool beserta kebencian suporternya terhadap Setan Merah yang semakin menjadi. Bagi Liverpool, musim ini tentunya merupakan salah satu musim terpahit dengan tidak adanya gelar yang mereka dapatkan. Liverpool juga harus pulang lebih awal dari Liga Champion setelah kalah dari Chelsea. Luka Liverpool seakan ditaburi garam dengan kepastian gelar Liga Premier yang diperoleh United didapat dengan mengalahkan Liverpool di laga pamungkas mereka. Satu hal yang akan selalu dikenang oleh para fans Liverpool.

14 Maret 2009: “Pembantaian di Old Trafford”
Manchester United 1 Liverpool 4
Kekalahan dari Liverpool di musim ini adalah salah satu yang paling parah pada era sepak bola moderen. Laga ini patut dikenang dengan suguhan duel antara Torres dan Vidic. Vidic yang memperoleh predikat pemain belakang terbaik di musim sebelumnya tampil melempem menghadapi kualitas teknik ujung tombak Liverpool, Fernando Torres. Pada konfrensi pers setelah pertandingan, Sir Alex bahkan mengakui keunggulan Liverpool. Fergie malah berpendapat bahwa Liverpool seharusnya bisa unggul lebih dari tiga gol. Sesuatu yang tentunya jarang dilakukan seorang manajer United.


1 komentar:

Biasakan Comment Yah ... You'll Never Walk Alone