24 September 2012

Apa Yang Salah Dengan Liverpool? Liverpool Yang Masih Terseok-Seok Musim Ini

Kekalahan telak dari West Brom dan Arsenal adalah salah satu buktinya.


Hampir dipastikan Liverpool masih akan kesulitan bersaing musim ini, khususnya memperebutkan tempat di empat besar, dimana mereka sering finish di sana sebelum tiga musim belakangan. Musim lalu Liverpool menjalani musim terburuk selama era Premier League, mereka finish di peringkat delapan, di bawah Everton – iya Everton, tetangga mereka itu tuh – dan tertinggal sangat jauh untuk bisa bersaing meraih gelar di puncak klasemen. Meski berhasil memenangkan trofi pertama mereka selama enam tahun terakhir – dan hanya sebuah Piala Carling – manajemen Liverpool tega memecat pelatih yang merupakan legenda hidup mereka, Kenny Dalglish. Mereka akhirhya berhasil mendatangkan pelatih muda dari Swansea, Brendan Rodgers. Kedatangan Rodgers membawa angin segar di Anfield, mantan staff pelatih Chelsea ini memang dikenal cukup lihai dalam menangani para berondong. Ia selalu memperhatikan perkembangan pemain muda, dan senang bermain dengan gaya penguasaan bola, meski itu terlihat kuno dan melelahkan. Di pertandingan pra musim Liverpool tampil kurang meyakinkan, dimana mereka terlihat sulit untuk meraih kemenangan. Memulai musim dengan menjalani Europa League, Liverpool terlihat bangkit dan menjanjikan untuk menjalani musim baru.

Namun kenyataan jauh dari harapan ketika di pertandingan perdana di Premier League, mereka harus rela dicukur 3-0 dari tim sekelas West Brom, yang di atas kertas kualitasnya jauh dari mereka. Penderitaan rupanya tak berakhir sampai di situ, pada laga tersebut Daniel Agger dikartu merah dan diusir dari lapangan. Hal ini menjadi pukulan telak bagi Rodgers, ia tahu bahwa beban untuk menjadi pelatih Liverpool sangat berat. Jika di musim sebelumnya ketika masih menukangi Swansea ia hanya ditargetkan untuk membawa tim tersebut bertahan di Premier League, sedangkan di Liverpool targetnya berbeda. Meski tak pernah memenangkan Liga Inggris di era Premier League, namun Liverpool selalu mampu bersaing di papan atas. Musim 2008-2009 adalah salah satu contohnya, mereka bahkan mampu finish sebagai runner up dan tertinggal hanya beberapa angka dari juara yang merupakan rival beratnya, Manchester United. Lalu, kemana mereka musim-musim berikutnya? Finish di peringkat enam, tujuh, dan delapan. Keterpurukan Liverpool membuat dua mantan pelatih mereka Rafa Benitez dan Dalglish harus angkat kaki dari Anfield, karena dianggap tak bisa membawa The Reds bersaing di papan atas, atau setidaknya finish di empat besar. Kegagalan mencapai empat besar tentunya membawa dampak yang cukup signifikan, tim yang mengoleksi trofi Liga Champion terbanyak di Inggris tersebut – dengan lima trofi – tak lolos ke Liga Champion dan harus puas berlaga di kompetisi kelas dua Europa League.

Dampak lain atas keterpurukan Liverpool juga berpegaruh ke sponsorship mereka, Adidas jelas-jelas menarik diri untuk menjadi apparel klub tersebut. Mulai musin ini Liverpool menggunakan produk asal Amerika Serikat bernama Warrior? Belum pernah dengar sebelumnya? Saya pun demikian. Dengan tim bertaburkan bintang-bintang seperti Steven Gerrard, Luis Suarez, Lucas Leiva, Agger, dan Pepe Reina, membuktikan bahwa Liverpool mempunyai pemain-pemain jempolan di setiap lininya. Musim ini mereka bahkan mendatangkan dua pemain muda berkualitas yang merupakan mantan anak didik Rodgers, Fabio Borini dan Joe Allen. Namun dengan semakin bertambah kuatnya Manchester City, Manchester United, dan Chelsea, karena menambah kekuatan mereka di bursa transfer, tampaknya masih sulit bagi Liverpool membuat kejutan musim ini. Ditambah lagi tim-tim seperti Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Newcastle juga siap bersaing untuk memperebutkan posisi empat agar bisa lolos ke Liga Champion musim depan.

Tak perlu dipungkiri, Liverpool adalah tim yang bagus, Rodgers juga merupakan pelatih yang berbakat. Bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi kesatuan yang kuat dan mengembalikan kejayaan Liverpool yang telah hilang. Namun tampaknya mereka masih membutuhkan waktu, dan kekalahan telak dari West Brom adalah salah satu buktinya. Dan selama menjalani proses tersebut, mereka sepertinya masih akan terseok-seok di musim ini. Lalu kapan Liverpool bisa kembali menjadi Liverpool yang biasa kita kenal? Tentunya pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh mereka sendiri. Kekalahan telak dari Arsenal di kandang sendiri menunjukkan bahwa ada yang salah dengan tim ini.  Mendatangkan pelatih baru dan berusia muda membawa harapan baru bagi fans Liverpool, meski awalnya mereka tidak terima karena harus memecat pelatih kesayangan sekaligus legenda hidup mereka, Kenny Dalglish. Dua kali kalah dan satu kali seri dari tiga pertandingan tentu merupakan start yang buruk untuk tim sebesar Liverpool. Dibantai West Brom dengan skor 3-0, ditahan imbang Manchester City 2-2, dan menyerah dari Arsenal 2-0, bermain imbang 1-1 dengan Sunderland dan kembali kalah 1-2 oleh rival abadi Manchester United di kandang sendiri menegaskan bahwa ada yang yang harus segera dibenahi oleh Brendan Rodgers.

Mari kita coba telaah bersama, kira-kira apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka...

Selain nama Luis Suarez dan Fabio Borini, Liverpool tak mempunyai lagi nama lain striker di level senior. Ya, melepas Andy Carroll ke West Ham adalah blunder yang cukup serius, karena mereka tak berhasil mendapatkan penggantinya. Asumsi Rodgers kala itu meminjamkan Carroll ke Upton Park, karena Clint Dempsey akan segera bergabung dengan mereka dari Fulham. Namun kenyataan berbicara lain, di deadline day Dempsey berlabuh di Tottenham, sedangkan mereka sudah mengizinkan Carroll hengkang ke London untuk bisa bermain secara reguler. Alhasil hanya Suarez dan Borini yang menjadi tumpuan untuk menjadi goal getter mereka. Suarez memang bermain cukup baik karena ia sering menusuk pertahanan lawan, sedangkan Borini bermain mengandalkan kecepatan dan lebih melebar. Suarez menjadi satu-satunya andalan di lini depan, sementara Borini dan Raheem Sterling membantu di kedua sayap. Yang jadi pertanyaan, jika Suarez cidera apa yang akan dilakukan Rodgers?

Ketika Carroll masih berada di Liverpool, Rodgers punya pilihan lain. Jika mereka kesulitan untuk menusuk pertahanan dari tengah, mereka bisa mengirimkan umpan-umpan lambung ke kotak penalti untuk menjadi santapan Carroll. Sundulan striker timnas Inggris itu bisa menjadi opsi lain untuk bisa mencetak gol. Mungkin taktik itu tak banyak membantu di Premier League musim lalu, setidaknya itu bisa membawa mereka memenangkan League Cup dan lolos ke final Piala FA. Pada laga menghadapi Arsenal kemarin, jelas Rodgers tak mempunyai pilihan lain selain bermain dengan gaya yang sudah bisa dibaca oleh lawannya. Jika rencana awal gagal, seharusnya ia mampu merubah permainan timnya. But there’s no plan B.

Rodgers mempunyai gaya bermain yang sebenarnya enak dilihat, tiki-taka ala Barcelona tentu membuat permainan Liverpool lebih hidup. Taktik tersebut cukup sukses diterapkannya di Swansea, namun mereka hanya mampu finish di peringkat 11 musim lalu, dan hal itu adalah sebuah penghargaan besar untuk tim yang baru promosi. Gaya tersebut memang terbukti efektif dalam penguasaan bola, namun tak memiliki penyelesaian yang cukup baik. Defisit gol Swansea musim lalu sangat buruk, dan hal ini membuktikan bahwa Rodgers hanya memikirkan bermain efektif dan mengebelakangkan hasil akhir.

Di Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal, blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya, dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar. 


Di Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal, blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya, dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar.

Pada gol pertama, Steven Gerrard yang salah memberikan umpan membuat Arsenal melakukan counter attack dan berhasil mencetak gol perdana mereka musim ini melalui Lukas Podolski. Di pertandingan menghadapi City yang lalu, Martin Skrtel yang melakukan kesalahan besar sehingga mereka gagal meraih kemenangan yang sudah ada di depan mata. Absennya Lucas Leiva di lini tengah Liverpool juga merupakan sebuah kehilangan besar, saat menghadapi Arsenal terlihat tuan rumah kesulitan mengimbangi lini tengah tamunya. Meski Rodgers memasang Nuri Sahin dan Joe Allen di lapangan tengah, namun keduanya mempunyai insting lebih menyerang daripada bertahan, tentu sangat berbeda dengan peran yang dijalani Lucas. Ketika masih berada di Borussia Dortmund dan Swansea, kedua pemain itu tampil cukup baik bagi timnya, namun saat itu mereka punya partner yang sangat disiplin. Di Liverpool, keduanya ingin menjadi seperti Paul Scholes, bukan Michael Carrick di Manchester United. Dan sampai Rodgers belum bisa mencari orang yang tepat untuk menggantikan peran Lucas, mereka masih akan mengalami masalah besar. Hanya berhasil memenangkan dua poin dari maksimal dua belas poin yang bisa dimenangkan, membuat tim ini berada dalam masalah yang cukup serius. Dan ini merupakan start terburuk Liverpool sejak 50 tahun terakhir. Rodgers harus mencari cara untuk bisa segera bangkit.
And process takes time.

Lupakan Sejarah Dan Tatap Masa Depan, Liverpool!

Liverpool harus berhenti terbuai dengan sejarah indah dan harus mampu mengatasi kenyataan pahit, demi masa depan mereka sendiri. Para fans, terlebih para pemain, harus melupakan prestasi gemilang yang pernah dicetak oleh para pendahulunya dan mulai bekerja keras, dari sekarang. Pasalnya penampilan mereka di awal musim ini seolah menjadi cerminan kegagalan di tiga musim sebelumnya. Selama tiga musim lamanya Liverpool harus terseok-seok di Premier League. Dan jika penampilan saat ini tak segera dibenahi, mereka akan mengalami musim keempat berada dalam keterpurukan. Finish di peringkat tujuh, enam, dan delapan, selama tiga musim berturut-turut tentunya merupakan prestasi yang tak bisa dibanggakan oleh tim sebesar Liverpool.

Dimana posisi mereka saat ini? Ya, mereka berada di peringkat 18 klasemen dengan jumlah poin dua dari lima pertandingan. Kalah telak dua kali dari West Brom dan Arsenal serta Manchester United, serta tertahan oleh Manchester City dan Sunderland membuat mereka hanya mampu meraih dua dari dua belas angka yang bisa dimenangkan. Saat ini posisi mereka hanya lebih baik dari QPR dan juga Southampton. Mungkin yang jadi pertanyaan besar bagi kalian para fans Liverpool, mampukah tim kesayangan kalian finish di empat besar Premier League pada bulan Mei nanti? Jawabannya, YA.

Sebagai contoh. Masih ingat Arsenal yang dibantai 8-2 di awal musim lalu oleh Manchester United, namun mampu finish di peringkat tiga dan lolos ke Liga Champion musim ini? Hal ini membuktikan bahwa keajaiban itu ada, asal mereka mau bekerja keras untuk bisa mewujudkannya. Pelatih dan para pemain Liverpool tentunya tak boleh putus harapan, karena pasti selalu ada solusi dan jalan keluar di dalam setiap kesulitan dan masalah. Asal mereka mampu melupakan tiga pertandingan yang sudah berlalu, dan menatap sisa pertandingan dengan optimis. Rodgers harus bisa mengatasi berbagai masalah teknis yang ada pada timnya. Kurangnya striker senior, gaya bermain yang membosankan, blunder yang dilakukan oleh para pemain, dan cidera pemain menjadi faktor teknis yang harus segera dicari solusinya oleh mantan pelatih Swansea tersebut.

Rodgers dituntut untuk bisa memimpin timnya agar bisa lebih fokus menjalani pertandingan demi pertandingan, untuk meraih hasil positif dan mempertahankan hasil tersebut (konsiten). Jika ini bisa dilakukan olehnya, niscaya Liverpool bisa kembali ke kodrat yang sempat lama melekat pada tim ini: The Big Four. Mulai saat ini, Liverpool harus bisa melupakan sejarah manis mereka agar tak terlalu terbuai karenanya. Mereka harus sadar bahwa mereka hidup di masa kini, bukan lagi di masa lalu. Apalah artinya 18 gelar liga jika mereka tak mampu memenangkan gelar ke-19 dalam waktu 20 tahun ke depan (lagi)? Tentunya mereka tak ingin dikenal sebagai ‘History FC’ semata.
Walk on, walk on, but you gotta move on!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biasakan Comment Yah ... You'll Never Walk Alone