Kekalahan telak dari West Brom dan
Arsenal adalah salah satu buktinya.
Hampir
dipastikan Liverpool masih akan kesulitan bersaing musim ini, khususnya
memperebutkan tempat di empat besar, dimana mereka sering finish di sana
sebelum tiga musim belakangan. Musim lalu Liverpool menjalani musim terburuk
selama era Premier League, mereka finish di peringkat delapan, di bawah Everton
– iya Everton, tetangga mereka itu tuh – dan tertinggal sangat jauh untuk bisa
bersaing meraih gelar di puncak klasemen. Meski berhasil memenangkan trofi
pertama mereka selama enam tahun terakhir – dan hanya sebuah Piala Carling –
manajemen Liverpool tega memecat pelatih yang merupakan legenda hidup mereka,
Kenny Dalglish. Mereka akhirhya berhasil mendatangkan pelatih muda dari
Swansea, Brendan Rodgers. Kedatangan
Rodgers membawa angin segar di Anfield, mantan staff pelatih Chelsea ini memang
dikenal cukup lihai dalam menangani para berondong. Ia selalu memperhatikan
perkembangan pemain muda, dan senang bermain dengan gaya penguasaan bola, meski
itu terlihat kuno dan melelahkan. Di pertandingan pra musim Liverpool tampil
kurang meyakinkan, dimana mereka terlihat sulit untuk meraih kemenangan.
Memulai musim dengan menjalani Europa League, Liverpool terlihat bangkit dan
menjanjikan untuk menjalani musim baru.
Namun
kenyataan jauh dari harapan ketika di pertandingan perdana di Premier League,
mereka harus rela dicukur 3-0 dari tim sekelas West Brom, yang di atas kertas
kualitasnya jauh dari mereka. Penderitaan rupanya tak berakhir sampai di situ,
pada laga tersebut Daniel Agger dikartu merah dan diusir dari lapangan. Hal ini
menjadi pukulan telak bagi Rodgers, ia tahu bahwa beban untuk menjadi pelatih
Liverpool sangat berat. Jika di musim sebelumnya ketika masih menukangi Swansea
ia hanya ditargetkan untuk membawa tim tersebut bertahan di Premier League,
sedangkan di Liverpool targetnya berbeda. Meski
tak pernah memenangkan Liga Inggris di era Premier League, namun Liverpool
selalu mampu bersaing di papan atas. Musim 2008-2009 adalah salah satu
contohnya, mereka bahkan mampu finish sebagai runner up dan tertinggal hanya
beberapa angka dari juara yang merupakan rival beratnya, Manchester United.
Lalu, kemana mereka musim-musim berikutnya? Finish di peringkat enam, tujuh,
dan delapan. Keterpurukan Liverpool membuat dua mantan pelatih mereka Rafa
Benitez dan Dalglish harus angkat kaki dari Anfield, karena dianggap tak bisa
membawa The Reds bersaing di papan atas, atau setidaknya finish di empat besar.
Kegagalan mencapai empat besar tentunya membawa dampak yang cukup signifikan,
tim yang mengoleksi trofi Liga Champion terbanyak di Inggris tersebut – dengan
lima trofi – tak lolos ke Liga Champion dan harus puas berlaga di kompetisi
kelas dua Europa League.
Dampak
lain atas keterpurukan Liverpool juga berpegaruh ke sponsorship mereka, Adidas
jelas-jelas menarik diri untuk menjadi apparel klub tersebut. Mulai musin ini
Liverpool menggunakan produk asal Amerika Serikat bernama Warrior? Belum pernah
dengar sebelumnya? Saya pun demikian. Dengan tim bertaburkan bintang-bintang
seperti Steven Gerrard, Luis Suarez, Lucas Leiva, Agger, dan Pepe Reina,
membuktikan bahwa Liverpool mempunyai pemain-pemain jempolan di setiap lininya.
Musim ini mereka bahkan mendatangkan dua pemain muda berkualitas yang merupakan
mantan anak didik Rodgers, Fabio Borini dan Joe Allen. Namun dengan semakin
bertambah kuatnya Manchester City, Manchester United, dan Chelsea, karena
menambah kekuatan mereka di bursa transfer, tampaknya masih sulit bagi
Liverpool membuat kejutan musim ini. Ditambah lagi tim-tim seperti Arsenal,
Tottenham Hotspur, dan Newcastle juga siap bersaing untuk memperebutkan posisi
empat agar bisa lolos ke Liga Champion musim depan.
Tak
perlu dipungkiri, Liverpool adalah tim yang bagus, Rodgers juga merupakan
pelatih yang berbakat. Bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi kesatuan yang
kuat dan mengembalikan kejayaan Liverpool yang telah hilang. Namun tampaknya
mereka masih membutuhkan waktu, dan kekalahan telak dari West Brom adalah salah
satu buktinya. Dan selama menjalani proses tersebut, mereka sepertinya masih
akan terseok-seok di musim ini. Lalu kapan Liverpool bisa kembali menjadi
Liverpool yang biasa kita kenal? Tentunya pertanyaan ini hanya bisa dijawab
oleh mereka sendiri. Kekalahan telak dari Arsenal di
kandang sendiri menunjukkan bahwa ada yang salah dengan tim ini. Mendatangkan pelatih baru dan berusia muda
membawa harapan baru bagi fans Liverpool, meski awalnya mereka tidak terima
karena harus memecat pelatih kesayangan sekaligus legenda hidup mereka, Kenny
Dalglish. Dua kali kalah dan satu kali seri dari tiga pertandingan tentu
merupakan start yang buruk untuk tim sebesar Liverpool. Dibantai West Brom
dengan skor 3-0, ditahan imbang Manchester City 2-2, dan menyerah dari Arsenal
2-0, bermain imbang 1-1 dengan Sunderland dan kembali kalah 1-2 oleh rival
abadi Manchester United di kandang sendiri menegaskan bahwa ada yang yang harus
segera dibenahi oleh Brendan Rodgers.
Mari
kita coba telaah bersama, kira-kira apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka...
Selain
nama Luis Suarez dan Fabio Borini, Liverpool tak mempunyai lagi nama lain
striker di level senior. Ya, melepas Andy Carroll ke West Ham adalah blunder
yang cukup serius, karena mereka tak berhasil mendapatkan penggantinya. Asumsi
Rodgers kala itu meminjamkan Carroll ke Upton Park, karena Clint Dempsey akan
segera bergabung dengan mereka dari Fulham. Namun
kenyataan berbicara lain, di deadline day Dempsey berlabuh di Tottenham,
sedangkan mereka sudah mengizinkan Carroll hengkang ke London untuk bisa
bermain secara reguler. Alhasil hanya Suarez dan Borini yang menjadi tumpuan
untuk menjadi goal getter mereka. Suarez memang bermain cukup baik karena ia
sering menusuk pertahanan lawan, sedangkan Borini bermain mengandalkan
kecepatan dan lebih melebar. Suarez menjadi satu-satunya andalan di lini depan,
sementara Borini dan Raheem Sterling membantu di kedua sayap. Yang jadi
pertanyaan, jika Suarez cidera apa yang akan dilakukan Rodgers?
Ketika
Carroll masih berada di Liverpool, Rodgers punya pilihan lain. Jika mereka
kesulitan untuk menusuk pertahanan dari tengah, mereka bisa mengirimkan
umpan-umpan lambung ke kotak penalti untuk menjadi santapan Carroll. Sundulan
striker timnas Inggris itu bisa menjadi opsi lain untuk bisa mencetak gol. Mungkin
taktik itu tak banyak membantu di Premier League musim lalu, setidaknya itu
bisa membawa mereka memenangkan League Cup dan lolos ke final Piala FA. Pada
laga menghadapi Arsenal kemarin, jelas Rodgers tak mempunyai pilihan lain
selain bermain dengan gaya yang sudah bisa dibaca oleh lawannya. Jika rencana
awal gagal, seharusnya ia mampu merubah permainan timnya. But there’s no
plan B.
Rodgers
mempunyai gaya bermain yang sebenarnya enak dilihat, tiki-taka ala Barcelona
tentu membuat permainan Liverpool lebih hidup. Taktik tersebut cukup sukses
diterapkannya di Swansea, namun mereka hanya mampu finish di peringkat 11 musim
lalu, dan hal itu adalah sebuah penghargaan besar untuk tim yang baru promosi. Gaya
tersebut memang terbukti efektif dalam penguasaan bola, namun tak memiliki
penyelesaian yang cukup baik. Defisit gol Swansea musim lalu sangat buruk, dan
hal ini membuktikan bahwa Rodgers hanya memikirkan bermain efektif dan
mengebelakangkan hasil akhir.
Di
Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk
bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin
dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan
tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti
sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan
kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain
faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan
Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak
membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan
Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal,
blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada
Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo
Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya,
dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat
sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar.
Di
Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk
bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin
dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan
tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti
sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan
kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain
faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan
Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak
membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan
Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal,
blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada
Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo
Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya,
dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat
sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar.
Pada
gol pertama, Steven Gerrard yang salah memberikan umpan membuat Arsenal
melakukan counter attack dan berhasil mencetak gol perdana mereka musim ini
melalui Lukas Podolski. Di pertandingan menghadapi City yang lalu, Martin
Skrtel yang melakukan kesalahan besar sehingga mereka gagal meraih kemenangan
yang sudah ada di depan mata. Absennya Lucas Leiva di lini tengah Liverpool juga merupakan sebuah kehilangan besar, saat menghadapi Arsenal terlihat tuan rumah kesulitan mengimbangi lini tengah tamunya. Meski Rodgers memasang Nuri Sahin dan Joe Allen di lapangan tengah, namun keduanya mempunyai insting lebih menyerang daripada bertahan, tentu sangat berbeda dengan peran yang dijalani Lucas. Ketika
masih berada di Borussia Dortmund dan Swansea, kedua pemain itu tampil cukup
baik bagi timnya, namun saat itu mereka punya partner yang sangat disiplin. Di
Liverpool, keduanya ingin menjadi seperti Paul Scholes, bukan Michael Carrick
di Manchester United. Dan sampai Rodgers belum bisa mencari orang yang tepat untuk
menggantikan peran Lucas, mereka masih akan mengalami masalah besar. Hanya
berhasil memenangkan dua poin dari maksimal dua belas poin yang bisa
dimenangkan, membuat tim ini berada dalam masalah yang cukup serius. Dan ini
merupakan start terburuk Liverpool sejak 50 tahun terakhir. Rodgers harus
mencari cara untuk bisa segera bangkit.
And
process takes time.
Lupakan
Sejarah Dan Tatap Masa Depan, Liverpool!
Liverpool harus berhenti
terbuai dengan sejarah indah dan harus mampu mengatasi kenyataan pahit, demi
masa depan mereka sendiri. Para fans, terlebih para pemain, harus melupakan
prestasi gemilang yang pernah dicetak oleh para pendahulunya dan mulai bekerja
keras, dari sekarang. Pasalnya penampilan mereka di awal musim ini seolah
menjadi cerminan kegagalan di tiga musim sebelumnya. Selama tiga musim lamanya
Liverpool harus terseok-seok di Premier League. Dan jika penampilan saat ini
tak segera dibenahi, mereka akan mengalami musim keempat berada dalam
keterpurukan. Finish di peringkat tujuh, enam, dan delapan, selama tiga musim
berturut-turut tentunya merupakan prestasi yang tak bisa dibanggakan oleh tim
sebesar Liverpool.
Dimana posisi mereka saat ini? Ya,
mereka berada di peringkat 18 klasemen dengan jumlah poin dua dari lima
pertandingan. Kalah telak dua kali dari West Brom dan Arsenal serta Manchester
United, serta tertahan oleh Manchester City dan Sunderland membuat mereka hanya
mampu meraih dua dari dua belas angka yang bisa dimenangkan. Saat ini posisi
mereka hanya lebih baik dari QPR dan juga Southampton. Mungkin yang jadi
pertanyaan besar bagi kalian para fans Liverpool, mampukah tim kesayangan
kalian finish di empat besar Premier League pada bulan Mei nanti? Jawabannya,
YA.
Sebagai contoh. Masih ingat Arsenal
yang dibantai 8-2 di awal musim lalu oleh Manchester United, namun mampu finish
di peringkat tiga dan lolos ke Liga Champion musim ini? Hal ini membuktikan bahwa
keajaiban itu ada, asal mereka mau bekerja keras untuk bisa mewujudkannya.
Pelatih dan para pemain Liverpool tentunya tak boleh putus harapan, karena
pasti selalu ada solusi dan jalan keluar di dalam setiap kesulitan dan masalah.
Asal mereka mampu melupakan tiga pertandingan yang sudah berlalu, dan menatap
sisa pertandingan dengan optimis. Rodgers harus bisa mengatasi berbagai
masalah teknis yang ada pada timnya. Kurangnya striker senior, gaya bermain
yang membosankan, blunder yang dilakukan oleh para pemain, dan cidera pemain
menjadi faktor teknis yang harus segera dicari solusinya oleh mantan pelatih
Swansea tersebut.
Rodgers dituntut untuk bisa memimpin
timnya agar bisa lebih fokus menjalani pertandingan demi pertandingan, untuk
meraih hasil positif dan mempertahankan hasil tersebut (konsiten). Jika ini
bisa dilakukan olehnya, niscaya Liverpool bisa kembali ke kodrat yang sempat
lama melekat pada tim ini: The Big Four. Mulai saat ini, Liverpool harus bisa
melupakan sejarah manis mereka agar tak terlalu terbuai karenanya. Mereka harus
sadar bahwa mereka hidup di masa kini, bukan lagi di masa lalu. Apalah artinya
18 gelar liga jika mereka tak mampu memenangkan gelar ke-19 dalam waktu 20
tahun ke depan (lagi)? Tentunya mereka tak ingin dikenal sebagai ‘History FC’
semata.
Walk on, walk on, but you gotta move
on!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Biasakan Comment Yah ... You'll Never Walk Alone