Rivalitas!
Tensi Tinggi!
Sebuah
rivalitas abadi dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Saya bicara soal rivalitas,
sebuah perseteruan antar dua tim besar. Sebuah perseteruan juga persaingan yang
kemudian menyeret banyak hal: amarah, benci, tawa, air mata, dan nyawa. Bara
panas di Anfield masih tiga hari lagi. Semua mata dan hati fokus menanti duel
yang menyeret emosi jutaan orang itu. Isu penting sudah dirilis: penghormatan
untuk korban Tragedi Hillsborough— 15 April 1989, ketika 96 fans Liverpool
tewas di salah satu tribun Stadion Hillsborough, Leppings Lane, saat menghadapi
Nottingham Forest di semifinal Piala FA.
Dua direktur dari kedua klub, Ian Ayre dan David Gill sudah bertemu. Mereka
sepakat untuk memberikan penghormatan kepada 96 korban yang tewas karena
kegagalan polisi menguasai situasi, dan bukan karena para supporter Liverpool
penuh alkohol.
Prosesinya
sebelum kick-off. Tiga mosaik disiapkan di tiga sisi Anfield:
1. Pemutaran tembang “You’ll
Never Walk Alone” ketika tim masuk lapangan;
2. Dari Tribun The Kopada
spanduk besar dengan tulisan ‘The Truth’ plus angka 96;
3. Di Centenary Stand ada
paparan kata ‘Justice’. Lalu, 96 balon – symbol dari 96 korban yang tewas, akan
dilepas oleh dua kapten dari kedua tim, Steven Gerrard dan Nemanja Vidic.
Alex
Ferguson setuju dengan prosesi itu. “Ini bentuk penghormatan kita untuk para
korban,” ujarnya. “Ini juga bagian dari tanggungjawab kita untuk memastikan
pertandingan nanti itu akan dikenang karena sepakbola,” sebut Gerrard. Sederet
komentar yang menarik. Menyejukkan.
Apakah
sesejuk itu warna pertandingan kedua bebuyut ini Minggu nanti? Saya harus
katakan: tidak! Sekali lagi, baranya panas! Sepanas kancah kuali. Lihat
bagaimana Ferguson merotasi pemain dalam dua partai terakhir: MU vs Wigan dan
MU vs Galatasaray. Simak juga spirit Wayne Rooney berlatih, melupakan laga vs
Galatasaray dan lebih memilih fokus ke Anfield. Liverpool? Sami mawon. Empat
laga sudah dilewati mereka di Liga Premier tanpa kemenangan. Era kebangkitan
mulai dirasakan skuad Brendan Rodgers saat memainkan hasil imbang 1-1 kontra
Southampton. Dan, tahukah Anda, demi sebuah rivalitas abadi, mala mini Rodgers
menyimpan hampir separuh skuadnya ketika melawat ke kandang Young Boys dalam
laga pertama fase grup Liga Europa.
Tidak
ada Gerarrd, Luis Suarez, Pepe Reina, Glen Johnson, Martin Skrtel, Daniel
Agger, Joe Allen hingga Martin Kelly. “Liga Premier adalah prioritas kami,”
ujar Rodgers. Hmm… Secara implisit, yakinilah, itu kalimat bersayap dia:
“Manchester United adalah prioritas kami.” Ketika
ada upaya untuk mendinginkan panasnya rivalitas kedua tim, jelang Derby of
England – banyak orang juga bilang ini North-West Derby — ketika itu pula kedua
tim terus menjaga keabadian rivalitas mereka.
Nah,
bicara rivalitas memang menarik. Semua ini bermula dari derby, dalam arti local
derby: pertarungan dua tim satu kota yang membuat partai itu bergengsi. Tapi
kemudian istilah derby berkembang luas. Tak hanya melibatkan tim-tim yang
berada dalam satu kota tapi juga melibatkan tim-tim besar dengan tingkat
rivalitas tinggi. Dan, buat tim, apalagi para supporter, derby dengan rivalitas
tinggi ini adalah simbol terhadap kebanggaan, fanatisme, status sosial dan
harga diri. Di situ ada kegembiraan, kesedihan, kebencian, amarah. Mediumnya
variatif: spanduk caci maki, poster penghinaan, lagu, slogan, yel-yel. Maka,
kalau sudah begini, sepakbola yang keras, indah, impresif, mengagumkan bisa menjadi
masalah hidup dan mati. Sekali lagi, di situ ada gengsi dan harga diri.
Liverpool
vs United masih tiga hari lagi. Tapi gengsi dan harga diri orang-orang di
belakang kedua tim sudah terasah sejak setengah abad silam. Sesuatu yang juga
bisa dirasakan dalam beberapa partai dengan tajuk rivalitas abadi di beberapa
Negara lain. Keindahan sepakbola bisa berubah menjadi bencana ketika kebencian,
status sosial, harga diri, perasaan tertindas, pengakuan dan banyak lagi, mulai
dimainkan. Dan cerita soal ini bederet, hampir di seluruh permukaan bumi. Ya,
magis sepakbola bisa melahirkan kerusuhan, bentrok, chaos. Semua soal hidup dan
mati. Ada
banyak derby dengan rivalitas abadi yang bisa jadi contoh. Brasil punya ‘Derby
Paulista’, Corinthians vs Palmeiras, duel dua tim dari kota tertua Sao Paulo
yang pernah menjadi bagian dari film Romeo And Juliet. Yunani punya Olympiakos
vs Panathinaikos yang dikenal dengan laga ‘Gate 7’ vs ‘Gate 13’. Di Turki ada
derby Fenerbahce vs Galatasaray, dua tim dari kota Istanbul yang hanya dipisah
selat Bosporus.
Argentina
punya ‘SuperClassico’, Boca Juniors vs River Plate yang berdarah-darah. Sama
seperti ‘Egypt Derby’, Zamalek vs Al-Ahly, sampai pihak keamanan Mesir harus
membuat rute jalan yang berbeda untuk para supporter kedua tim. Di Serbia ada
derby abadi, Partizan vs Red Star yang kalau kedua tim berlaga, kota Beograd
seperti kuburan. Tahu
The Old Firm? Ini adalah tajuk derby antar dua rival dari kota Glasgow, Celtic
vs Rangers. Dan, tahukah Anda, setiap usai laga, pasien rumah sakit di kota
Glasgow naik 17 persen? Ahahaa.. Kita pindah ke Italia. Di situ ada Della
Madonnina, ibu segala derby – maklum patung Bunda Maria ada di Milan — yang
mempertemukan AC Milan vs Internazionale. Ada juga derby Della Capitale: Roma
vs Lazio yang terkenal ‘mengerikan’ dengan symbol ‘Curva Sud’ vs ‘Curva Nord’.
Di kota Turin ada derby della Mole: Juventus vs Torino. Secara nasional, saya
juga harus sebut Derby Italia antar Juventus vs Inter, sama seperti derby
Prancis: Paris SG vs Marseille.
Di
Spanyol, yang paling terkenal tentu saja El-Classico Madrid vs Barcelona, dua
klub besar dan paling sukses yang mewakili dua daerah seteru, Katalunya vs
Kastil. Rivalitas mereka diperparah ketika Bernd Schuster (1988), Michael
Laudrup (1994) dan Luis Figo (2000) membelot ke Real Madrid dan Luis Enrique membelot
ke Barcelona tahun 1996. Kalau Belanda punya De Klassieker, Ajax Amsterdam vs
Feyenoord Rotterdam, tapi yang paling seru tentu saja ‘Derby of Indonesia’,
Persija Jakarta vs Persib Bandung. Ini laga dengan tensi tinggi, rawan, dan
kerap menyulitkan aparat keamanan. Hampir mirip misalnya dengan permusuhan
Persebaya-Arema Malang atau Persisam Samarinda-Persiba Balikpapan. Cukup
banyak memang contoh partai-partai dengan label derby dan dengan rivalitas
tingkat atas. Semuanya menyodorkan tensi tinggi, mengurasi emosi, mengumbar
kebencian, meluapkan amarah dan menyodorkan cerita-cerita chaos. Dan lagi-lagi
saya harus katakan sumbernya luar-dalam, teknis-nonteknis. Soal harga diri,
kesenjangan ekonomi, perasaan tertindas, gengsi, keakuan, sikap-sikap
egosentris yang kemudian berkembang menjadi “warna lain” dari keindahan
sepakbola itu sendiri.
Banyak
memang upaya untuk memunculkan perdamaian. Derby Merseyside misalnya, ketika
fans Everton dan Liverpool pernah mengajukan slogan ‘Merseyside United’, tapi
tak pernah berakhir dengan senyum. Sama seperti upaya perdamaian The Jak dengan
Viking yang masih sebatas wacana. Atau juga Derby of Great London, Arsenal vs
Chelsea, yang kalau mereka berlaga maka kota London dibelah warna merah dan
biru. Jika
ada ‘Tribute of Hillsborough’ pada Minggu (23/9) ini dalam ‘Derby of England’
Liverpool vs Manchester United, lantas apakah rivalitas mereka akan jadi sejuk
dan tensinya jadi menurun? Dan lalu kita semua hanya akan menyaksikan para
bintang berlaga tidak dengan label kebencian, kemarahan, gengsi, harga diri?
Dan lalu juga kita tidak akan menyaksikan para supporter meninggalkan Anfield
dengan damai, berangkulan, dan tanpa rusuh?
Rivalitas
dengan tensi tinggi Liverpool vs United ini memang meninggalkan banyak cerita.
Dan, seperti yang juga berlaku kebanyakan di banyak label derby lainnya, maka
derby of England ini juga banyak dipicu oleh aksi-aksi pemain dan, jangan
bantah: fans! Sebuah rivalitas dengan tensi tingkat tinggi yang wajib dinanti.
Sejarah Panjang
Rivalitas MU dan Liverpool
“Beberapa orang berpikir sepak bola adalah
hidup dan mati. Tapi saya yakinkan Anda, ini akan jauh lebih penting daripada
itu semua.“- William “Bill” Shankly.
Pernyataan
yang dilontarkan dari bibir manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, itu
seakan menjadi gambaran sesungguhnya ketika menyaksikan rivalitas terbesar
dalam ziarah sepak bola Inggris antara Liverpool dan Manchester United. Nama
besar kedua tim seakan menjadi ikon yang tak bisa lepas dan saling melengkapi
satu sama lain di dalam ranah sepak bola Inggris saat ini. Jika ditarik ke
belakang, rivalitas Liverpool dan MU ini tak bermula dari urusan lapangan
semata. Dunia bisnislah yang pertama kali membuat api rivalitas menggelora
dalam sejarah dua klub tersebut. Pada abad ke-19, hubungan kedua kota itu
awalnya sangat harmonis, karena Liverpool terkenal sebagai kota pelabuhan besar
di Inggris, dan Manchester merupakan kota pertama yang perekonomiannya cukup
maju semenjak revolusi Inggris.
Namun,
hubungan manis itu harus retak pada akhir 1878. Depresi dunia ketika itu,
membuat Manchester “menyalahkan” Liverpool karena dianggap telah memberlakukan
tarif tinggi bagi jalur distribusi produk-produk mereka. Kecewa, Manchester
lantas membangun pelabuhan sendiri untuk mendistribusikan hasil industri
kotanya ke seluruh dunia pada 1894. Langkah itu, secara tidak langsung akhirnya
membuat pendapatan kota dan penduduk di Liverpool turun dengan drastis.
Semenjak inilah awal aroma kebencian masyarakat kedua kota itu terjadi. Para
Scouse, sebutan warga Liverpool, menilai Mancunian, sebutan bagi warga
Manchester, sebagai biang kerok dibalik kekacauan yang terjadi di kotanya.
Kebencian
ini pula yang kemudian merasuki ranah sepak bola. Untuk urusan lapangan hijau,
Liverpool memang lebih dulu “besar” dibanding dengan MU. Meskipun MU merupakan
tim Inggris pertama yang memenangkan Piala Champions pada 1968, namun
kesuksesan di era tersebut memang harus diakui adalah milik Liverpool. Memasuki
era 1970-an, di bawah kepemimpinan Bill Shankly, Liverpool berubah menjadi
raksasa sepak bola di Inggris maupun di Eropa. Di era ini, Liverpool menyabet
11 gelar juara Liga dan empat juara Piala FA. Termasuk juga prestasi mereka
meraih Treble Winners pada tahun 1984 dengan menyandingkan gelar juara Liga
dengan Piala FA dan Piala Champions. Bahkan, pada 1974, “The Reds” dapat
tertawa bangga karena dapat meraih sukses di papan atas Liga dan Piala FA
disaat MU harus rela bermain di Divisi II.
Rivalitas
itu kembali memanas memasuki era 1990-an, ketika pelatih asal Skotlandia, Sir
Alex Ferguson, memulai karirnya bersama MU. Bahkan, di awal karirnya itu,
Ferguson sempat dengan lantang mengatakan bahwa hal terindah bagi dirinya
adalah ketika “memukul” Liverpool yang sedang berada di puncak kesuksesan. Dan
pernyataan itu, bukanlah isapan jempol semata. Fergie membuktikannya tiga tahun
setelah memulai karirnya bersama MU pada 1986. Fergie memberikan gelar Piala FA
pertamanya untuk MU pada 1990. Setelah itu, giliran MU yang berubah bak raksasa
Inggris dan dapat tertawa manis di atas “kesuksesan” Liverpool yang terakhir
kali meraih gelar Liga Inggris pada 1989. Di era ini, MU mampu meraih 11 gelar
juara liga dan 2 kali juara Liga Champions. Secara keseluruhan, gelar juara
Premier League tahun lalu telah menjadikan MU sebagai pemegang koleksi juara
terbanyak dengan 19 gelar, mengalahkan Liverpool dengan 18 gelar. Namun,
jika melihat gelar di Eropa, Gerrard dan kawan-kawan jelas lebih unggul dengan
raihan lima gelar Liga Champions dibanding MU yang baru mengantongi tiga gelar.
Persaingan
keduanya betul-betul sangat berlatar belakang ekonomi. Manchester dikenal
karena industrinya. Liverpool karena pelabuhannya. Penduduk Liverpool saat itu
betul-betul menikmati kejayaan ekonomi karena semua ekspor di kawasan barat
laut Inggris harus melalui kota pelabuhan ini. Tapi sejak tahun 1887-1894 dibangunlah
sebuah kanal sepanjang 58 km yang memberi Manchester akses langsung ke laut.
Sejak saat itu runtuhlah kejayaan Liverpool. Ribuan orang menganggur. Muncullah
kebencian terhadap kota Manchester. Kebencian ini diwariskan dari ayah pada
anak-anaknya, lalu pada cucu-cucunya, dan seterusnya sampai saat ini. Pada
periode 1970-1980 kedua kota sama-sama menderita karena kelesuan ekonomi yang
melanda seluruh dunia. Tapi penduduk Liverpool masih bisa terhibur oleh
penampilan The Reds yang mencapai puncaknya pada periode ini. Mereka juara liga
5 kali di masa ini. Sebanyak lima kali juga merebut trofi di level Eropa.
Sementara
di saat yang sama Manchester United (dan juga Manchester City) tengah mengalami
periode lesu darah paling kelam dalam sejarah mereka. Ini menghasilkan semacam
balas dendam dari Liverpool dalam bentuk ejekan-ejekan yang mendidihkan darah
warga Manchester. Mungkin juga kebangkitan Manchester diawali dari masa itu.
Sebab setelah itu, giliran grafik prestasi The Reds yang terus menurun. Sampai
hari ini, rivalitas keduanya secara statistik membuktikan MU lebih unggul 72 vs
62, dengan 51 laga lainnya draw. Tidak heran jika pertarungan keduanya
merupakan salah satu yang paling ditunggu, bukan saja di Inggris tapi juga di
seluruh dunia. Laga derby Inggris terakhir berujung dengan skor 2-1 untuk tuan
rumah MU, meski di 3 laga sebelumnya Liverpool yang menang atau draw.
Saking
kerasnya persaingan antar keduanya, tak ada transfer pemain antar kedua klub
sejak tahun 1964. Kalau pun ada pemain salah satu klub yang akhirnya bermain di
klub rivalnya, mereka melalui klub lainnya terlebih dulu, misalnya adalah
Michael Owen yang terlebih dulu main di Real Madrid dan Newcastle United.
Selain itu juga ada nama legendaris Paul Ince yang terlebih dulu main di Inter
Milan.
5
Laga Penuh Rivalitas
Riuh
rendah penonton perlahan semakin nyaring seiring ditiupnya peluit pada sebuah
pertandingan. Rivalitas dua tim, inilah yang membuat sebuah olah raga dapat
terus berjalan. Batas wilayah, kesuksesan tim, bahkan terkadang alasan yang
tidak terlalu jelas bagi para pendukung fanatik sebuah tim sekalipun dapat
menjadi akar sebuah rivalitas. Rivalitas merupakan sebuah bagian penting dalam
sebuah pertandingan, sama pentingnya seperti sebuah bola dan peluit, hal yang
tidak dapat dipisahkan dari sebuah pertandingan. Italia
memiliki Derby Roma,
Spanyol punya El Classico,
dan Skotlandia dengan The Old
Firm mereka. Satu rivalitas yang tidak mungkin disaingi semua laga
tersebut adalah kebencian antara dua tim tersukses di daratan Inggris, yaitu
Liverpool dan Manchester United. Sangat menarik bila ditanya soal rival
terbesar pendukung Liverpool, mereka akan kompak menjawab, “Kami benci Mhancunian!”.
Jawaban penuh kebencian yang segera akan muncul kembali.
Sejarah
panjanglah yang memperpanas rivalitas kedua tim ini. Posisi United sebagai
pemimpin pemimpin dalam raihan trophy liga ini telah menambah panjang rentetan
kebencian Fans Liverpool. Jika United berhasil menyabet gelar EPL tahun ini,
torehan gelar EPL Liverpool akan berada pada urutan ke-dua, dua gelar tertinggal
dari United. Tentu The Kop tidak menyukai urutan ke-dua. Berikut adalah lima
ulasan laga paling panas yang dapat memberi gambaran rivalitas kedua tim selama
beberapa dekade terakhir. Berbagai raihan positif keduanya telah memberi
sumbangan terhadap luapan emosi para pendukung mereka yang akan menyaksikan
pertemuan keduanya Minggu malam nanti dengan kostum kebanggaan masing-masing. Ada
banyak hal di antara rivalitas keduanya tapi beberapa ulasan berikut cukup
mewakili gambaran persaingan kedua tim.
24
Januari 1999: “Treble Winner Pertama United”
Manchester
United 2 Liverpool 1
Musim
1999 tidak akan dilupakan fans United. Tiga gelar yang diperoleh United di
ajang Liga Premier, FA Cup, dan European Cup dibumbui dengan kemenangan penting
atas Liverpool pada putaran ke-empat FA Cup. Anak ajaib Liverpool, Michael
Owen, membuka keunggulan Liverpool di menit ke-3 sekaligus membuat puluhan
ribuan pendukung United membisu. Langkah United seakan terhenti sebelum
pertandingan berakhir hingga akhirnya Yorke menyamakan kedudukan pada menit ke-88.
Solkjaer mungkin tepat dijuluki The
Baby’s face Assassin karena golnya di menit ke-90 berhasil
menyingkirkan Liverpool dari ajang FA Cup. Tahun 1999 United berhasil melewati
semua tim yang menghalangi mereka untuk mendapatkan treble winner pertama mereka. Dibutuhkan usaha
keras hingga menit akhir untuk dapat mewujudkan pencapaian ini. United
membuktikan bahwa mereka adalah tim yang solid dan mampu mewujudkan pencapaian
terbaik mereka.
17
Desember 2000: “Pernyataan Fenomenal Houllier”
Manchester
United 0 Liverpool 1.
United
selalu menang atas Liverpool selama sepuluh pertandingan terakhir kala itu.
Yang menarik adalah sebuah pernyataan fenomenal dari manajer Liverpool saat
itu, Gerard Houllier, yang dilontarkan sebelum pertandingan. “Kita akan
mengalahkan mereka suatu hari nanti, saya bersumpah!”, ujar Houllier yang
membakar semangat. Pernyataan itu terbukti berhasil mengakhiri tradisi
kemenangan United atas Liverpool. Tendangan bebas Danny Murphy sesaat sebelum
turun minum berhasil membungkam pendukung Red
Devils sekaligus mengakhiri kutukan United atas Liverpool. Walaupun
kalah, United berhasil mengakhiri musim itu dengan trofi EPL di tangan mereka.
Liverpool juga berhasil meraih treble winners, tiga piala mereka peroleh dari
Worthington Cup, FA Cup dan yang terakhir adalah UEFA Cup. Akhir manis bagi
kedua tim.
22
Januari 2006: “Gary Neville dan Selebrasi Provokatif”
Manchester
United 1 Liverpool 0
Laga
ini menjadi alasan mengapa para fans setan merah begitu mencintai mantan skipper United ini. Terutama
cara ia mengajari fans Liverpool tentang arti rasa terhina yang sebenarnya.
Dalam laga ini walaupun Liverpool memiliki sejumlah peluang emas untuk mencetak
gol namun lini depan mereka sering membuang kesempatan itu. Kemenangan United
ditentukan lewat umpan silang Giggs yang diselesaikan dengan sundulan keras Rio
Ferdinand ke arah gawang Liverpool. Gol tercipta dan Neville melakukan
selebrasi tepat di depan pendukung Liverpool. Selebrasi ini berimbas denda
sebesar £5000 kepada Neville dan tentu saja memicu kekacauan setelah
pertandingan berakhir.
23
Maret 2008: “Mascherano Keluar, Liverpool Rata”
Manchester
United 3 Liverpool 0
Diusirnya
Javier Mascherano benar-benar membawa kehancuran bagi Liverpool kala itu. Wayne
Rooney, Cristiano Ronaldo, serta Ryan Giggs benar-benar leluasa dalam
membombardir pertahanan Liverpool. Di akhir musim United berhasil memastikan
tim mereka merajai daratan Inggris dan Eropa. Membiarkan Liverpool beserta
kebencian suporternya terhadap Setan Merah yang semakin menjadi. Bagi
Liverpool, musim ini tentunya merupakan salah satu musim terpahit dengan tidak
adanya gelar yang mereka dapatkan. Liverpool juga harus pulang lebih awal dari
Liga Champion setelah kalah dari Chelsea. Luka Liverpool seakan ditaburi garam
dengan kepastian gelar Liga Premier yang diperoleh United didapat dengan
mengalahkan Liverpool di laga pamungkas mereka. Satu hal yang akan selalu dikenang
oleh para fans Liverpool.
14
Maret 2009: “Pembantaian di Old Trafford”
Manchester
United 1 Liverpool 4
Kekalahan
dari Liverpool di musim ini adalah salah satu yang paling parah pada era sepak
bola moderen. Laga ini patut dikenang dengan suguhan duel antara Torres dan
Vidic. Vidic yang memperoleh predikat pemain belakang terbaik di musim
sebelumnya tampil melempem menghadapi kualitas teknik ujung tombak Liverpool, Fernando Torres. Pada
konfrensi pers setelah pertandingan, Sir Alex bahkan mengakui keunggulan
Liverpool. Fergie malah berpendapat bahwa Liverpool seharusnya bisa unggul
lebih dari tiga gol. Sesuatu yang tentunya jarang dilakukan seorang manajer
United.