24 September 2012

Pelajaran Berharga dari Terungkapnya Kebenaran Tragedi Hillsborough

23 Tahun dan akhirnya kebenaran itu pun terungkap.

Tragedi Hillsborough adalah sebuah catatan kelam dalam sejarah Liverpool. Dan dalam sejarah sepakbola secara keseluruhan. Nyawa 96 fans melayang sia-sia dalam pertandingan FA Cup antara Nottingham Forest dan The Reds di tahun 1989 silam. Sebelum kebenaran terungkap kemarin, para fans Liverpool menjadi sasaran utama tragedi ini. Selain menjadi korban, mereka juga dituduh sebagai penyebab utama tragedi ini terjadi. Bahkan harian The Sun sempat meletakkan tuduhan tanpa bukti ini di halaman depan mereka dan melabelinya “The Truth”.

Kini segalanya berubah. Sangat terlambat memang. 23 tahun adalah waktu yang terlalu lama bagi pemerintahan sebesar Inggris untuk memecahkan masalah semacam ini. Bahkan dibutuhkan petisi besar-besar dan sebuah badan independen (yang salah satu petingginya adalah fans Everton) untuk mendorong kebenaran bisa diungkapkan ke semua orang. Beberapa hal yang terungkap membuktikan bahwa fans Liverpool sama sekali tidak layak disalahkan dalam tragedi ini. Justru, mereka menjadi korban ketidaksiapan polisi dan semua elemen terkait dalam penyelenggaraan pertandingan tersebut. Termasuk juga tim medis dan ambulans mereka.

Dari catatan yang dimunculkan, 41 nyawa seharusnya bisa diselamatkan jika prosedur keamanan di lapangan bisa berjalan dengan benar. Fakta-fakta semacam ini disembunyikan secara memalukan oleh pemerintahan dan kepolisian Inggris. Berbagai pengakuan saksi diubah, ditambah-tambahi, bahkan dibuang. Para polisi juga melakukan segalanya untuk mencari bukti bahwa para suporter ini sedang dalam keadaan mabuk. Semua dilakukan demi menimpakan kesalahan kepada para fans -yang sebenarnya malah berjuang keras menyelamatkan nyawa siapapun yang berada di dekat mereka saat itu.

Karena itu, tidak heran jika kejadian mengerikan ini kini diberi label “The Biggest Cover Up in History” di Inggris. Sekarang, setelah semua terungkap ke publik. Berbagai pihak yang bertanggung jawab akan berhadapan dengan fase selanjutnya. Penghakiman dan keadilan bagi seluruh korban dan juga keluarga yang mereka tinggalkan. Perjuangan mereka selama 23 tahun terakhir ini untuk mencari keadilan sepertinya sudah akan menemui titik terang. Dan semua pihak pasti berharap, segalanya bisa diselesaikan dengan sempurna dengan semua “kejahatan” mendapatkan hukuman setimpal. Tidak hanya sekedar permintaan maaf.

Apa yang bisa kita dapatkan dari kejadian ini?

Banyak hal. Salah satu yang terpenting adalah membuat kita menyadari ada banyak hal lain yang lebih penting dibandingkan dengan pertarungan dua sisi di dalam lapangan. Hal-hal yang membuat sepakbola adalah bagian dari kehidupan itu sendiri -namun tidak akan pernah bisa melebihi makna kehidupan dari dalam diri semua orang. Tragedi Hillsborough seringkali menjadi bahan chant-chant menyedihkan dan tidak pantas dari fans-fans lawan ketika timnya berhadapan dengan Liverpool. Ini adalah satu hal yang diharapkan bisa hilang secara perlahan, hingga akhirnya lenyap sama sekali ke depannya. Kejadian ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang menyedihkan. Bukan bahan cercaan atau makian yang layak diteriakkan di lapangan.

Bayangkan bagaimana perasaan keluarga para korban. Ada anak-anak kecil yang meninggal dunia dalam kejadian tersebut. Rasa hormat dan simpati tertinggi layak diberikan. Dan di saat semacam ini, rivalitas yang muncul harus benar-benar dipinggirkan terlebih dahulu. Para pemain sepakbola dari seluruh dunia memberikan simpati mereka. Klub-klub lain juga memberikan dukungan dan rasa hormat untuk Liverpool dan para korban. Everton -sang rival abadi- sempat memajang sebuah jersey dengan tulisan “Remembering The 96″. Sebuah bentuk dukungan yang luar biasa mengingat bagaimana persaingan kedua klub ini sepanjang sejarah.

 Sekarang, tinggal bagaimana para fans menyikapi hal ini. Sepanjang hari kemarin, masih banyak muncul cercaan dan sindiran yang tidak layak mengenai tragedi ini. Terutama di social media semacam twitter. Banyak fans klub lain yang tidak paham dan bahkan mungkin tidak pernah membaca mengenai apa yang sebenarnya terjadi, ikut-ikutan mencela. Sesuatu yang menyedihkan dan layak dimusnahkan dari dunia sepakbola.

Rivalitas dan sisi humanisme adalah dua hal yang berbeda dalam sepakbola. Untuk kejadian ini, seharusnya tidak ada lagi warna rivalitas yang terlihat. Semua pecinta sepakbola di seluruh dunia seharusnya memfokuskan diri pada satu hal: menuntut keadilan. Karena seharusnya tidak ada satupun fans sepakbola yang layak untuk tidak kembali ke rumah setelah datang ke stadion untuk mendukung tim kesayangan mereka.

Sebuah tragedi. Sebuah peringatan. Sebuah pelajaran untuk kita semua.
»»  lanjut bacanya....

Respect The 96

»»  lanjut bacanya....

Apa Yang Salah Dengan Liverpool? Liverpool Yang Masih Terseok-Seok Musim Ini

Kekalahan telak dari West Brom dan Arsenal adalah salah satu buktinya.


Hampir dipastikan Liverpool masih akan kesulitan bersaing musim ini, khususnya memperebutkan tempat di empat besar, dimana mereka sering finish di sana sebelum tiga musim belakangan. Musim lalu Liverpool menjalani musim terburuk selama era Premier League, mereka finish di peringkat delapan, di bawah Everton – iya Everton, tetangga mereka itu tuh – dan tertinggal sangat jauh untuk bisa bersaing meraih gelar di puncak klasemen. Meski berhasil memenangkan trofi pertama mereka selama enam tahun terakhir – dan hanya sebuah Piala Carling – manajemen Liverpool tega memecat pelatih yang merupakan legenda hidup mereka, Kenny Dalglish. Mereka akhirhya berhasil mendatangkan pelatih muda dari Swansea, Brendan Rodgers. Kedatangan Rodgers membawa angin segar di Anfield, mantan staff pelatih Chelsea ini memang dikenal cukup lihai dalam menangani para berondong. Ia selalu memperhatikan perkembangan pemain muda, dan senang bermain dengan gaya penguasaan bola, meski itu terlihat kuno dan melelahkan. Di pertandingan pra musim Liverpool tampil kurang meyakinkan, dimana mereka terlihat sulit untuk meraih kemenangan. Memulai musim dengan menjalani Europa League, Liverpool terlihat bangkit dan menjanjikan untuk menjalani musim baru.

Namun kenyataan jauh dari harapan ketika di pertandingan perdana di Premier League, mereka harus rela dicukur 3-0 dari tim sekelas West Brom, yang di atas kertas kualitasnya jauh dari mereka. Penderitaan rupanya tak berakhir sampai di situ, pada laga tersebut Daniel Agger dikartu merah dan diusir dari lapangan. Hal ini menjadi pukulan telak bagi Rodgers, ia tahu bahwa beban untuk menjadi pelatih Liverpool sangat berat. Jika di musim sebelumnya ketika masih menukangi Swansea ia hanya ditargetkan untuk membawa tim tersebut bertahan di Premier League, sedangkan di Liverpool targetnya berbeda. Meski tak pernah memenangkan Liga Inggris di era Premier League, namun Liverpool selalu mampu bersaing di papan atas. Musim 2008-2009 adalah salah satu contohnya, mereka bahkan mampu finish sebagai runner up dan tertinggal hanya beberapa angka dari juara yang merupakan rival beratnya, Manchester United. Lalu, kemana mereka musim-musim berikutnya? Finish di peringkat enam, tujuh, dan delapan. Keterpurukan Liverpool membuat dua mantan pelatih mereka Rafa Benitez dan Dalglish harus angkat kaki dari Anfield, karena dianggap tak bisa membawa The Reds bersaing di papan atas, atau setidaknya finish di empat besar. Kegagalan mencapai empat besar tentunya membawa dampak yang cukup signifikan, tim yang mengoleksi trofi Liga Champion terbanyak di Inggris tersebut – dengan lima trofi – tak lolos ke Liga Champion dan harus puas berlaga di kompetisi kelas dua Europa League.

Dampak lain atas keterpurukan Liverpool juga berpegaruh ke sponsorship mereka, Adidas jelas-jelas menarik diri untuk menjadi apparel klub tersebut. Mulai musin ini Liverpool menggunakan produk asal Amerika Serikat bernama Warrior? Belum pernah dengar sebelumnya? Saya pun demikian. Dengan tim bertaburkan bintang-bintang seperti Steven Gerrard, Luis Suarez, Lucas Leiva, Agger, dan Pepe Reina, membuktikan bahwa Liverpool mempunyai pemain-pemain jempolan di setiap lininya. Musim ini mereka bahkan mendatangkan dua pemain muda berkualitas yang merupakan mantan anak didik Rodgers, Fabio Borini dan Joe Allen. Namun dengan semakin bertambah kuatnya Manchester City, Manchester United, dan Chelsea, karena menambah kekuatan mereka di bursa transfer, tampaknya masih sulit bagi Liverpool membuat kejutan musim ini. Ditambah lagi tim-tim seperti Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Newcastle juga siap bersaing untuk memperebutkan posisi empat agar bisa lolos ke Liga Champion musim depan.

Tak perlu dipungkiri, Liverpool adalah tim yang bagus, Rodgers juga merupakan pelatih yang berbakat. Bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi kesatuan yang kuat dan mengembalikan kejayaan Liverpool yang telah hilang. Namun tampaknya mereka masih membutuhkan waktu, dan kekalahan telak dari West Brom adalah salah satu buktinya. Dan selama menjalani proses tersebut, mereka sepertinya masih akan terseok-seok di musim ini. Lalu kapan Liverpool bisa kembali menjadi Liverpool yang biasa kita kenal? Tentunya pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh mereka sendiri. Kekalahan telak dari Arsenal di kandang sendiri menunjukkan bahwa ada yang salah dengan tim ini.  Mendatangkan pelatih baru dan berusia muda membawa harapan baru bagi fans Liverpool, meski awalnya mereka tidak terima karena harus memecat pelatih kesayangan sekaligus legenda hidup mereka, Kenny Dalglish. Dua kali kalah dan satu kali seri dari tiga pertandingan tentu merupakan start yang buruk untuk tim sebesar Liverpool. Dibantai West Brom dengan skor 3-0, ditahan imbang Manchester City 2-2, dan menyerah dari Arsenal 2-0, bermain imbang 1-1 dengan Sunderland dan kembali kalah 1-2 oleh rival abadi Manchester United di kandang sendiri menegaskan bahwa ada yang yang harus segera dibenahi oleh Brendan Rodgers.

Mari kita coba telaah bersama, kira-kira apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka...

Selain nama Luis Suarez dan Fabio Borini, Liverpool tak mempunyai lagi nama lain striker di level senior. Ya, melepas Andy Carroll ke West Ham adalah blunder yang cukup serius, karena mereka tak berhasil mendapatkan penggantinya. Asumsi Rodgers kala itu meminjamkan Carroll ke Upton Park, karena Clint Dempsey akan segera bergabung dengan mereka dari Fulham. Namun kenyataan berbicara lain, di deadline day Dempsey berlabuh di Tottenham, sedangkan mereka sudah mengizinkan Carroll hengkang ke London untuk bisa bermain secara reguler. Alhasil hanya Suarez dan Borini yang menjadi tumpuan untuk menjadi goal getter mereka. Suarez memang bermain cukup baik karena ia sering menusuk pertahanan lawan, sedangkan Borini bermain mengandalkan kecepatan dan lebih melebar. Suarez menjadi satu-satunya andalan di lini depan, sementara Borini dan Raheem Sterling membantu di kedua sayap. Yang jadi pertanyaan, jika Suarez cidera apa yang akan dilakukan Rodgers?

Ketika Carroll masih berada di Liverpool, Rodgers punya pilihan lain. Jika mereka kesulitan untuk menusuk pertahanan dari tengah, mereka bisa mengirimkan umpan-umpan lambung ke kotak penalti untuk menjadi santapan Carroll. Sundulan striker timnas Inggris itu bisa menjadi opsi lain untuk bisa mencetak gol. Mungkin taktik itu tak banyak membantu di Premier League musim lalu, setidaknya itu bisa membawa mereka memenangkan League Cup dan lolos ke final Piala FA. Pada laga menghadapi Arsenal kemarin, jelas Rodgers tak mempunyai pilihan lain selain bermain dengan gaya yang sudah bisa dibaca oleh lawannya. Jika rencana awal gagal, seharusnya ia mampu merubah permainan timnya. But there’s no plan B.

Rodgers mempunyai gaya bermain yang sebenarnya enak dilihat, tiki-taka ala Barcelona tentu membuat permainan Liverpool lebih hidup. Taktik tersebut cukup sukses diterapkannya di Swansea, namun mereka hanya mampu finish di peringkat 11 musim lalu, dan hal itu adalah sebuah penghargaan besar untuk tim yang baru promosi. Gaya tersebut memang terbukti efektif dalam penguasaan bola, namun tak memiliki penyelesaian yang cukup baik. Defisit gol Swansea musim lalu sangat buruk, dan hal ini membuktikan bahwa Rodgers hanya memikirkan bermain efektif dan mengebelakangkan hasil akhir.

Di Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal, blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya, dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar. 


Di Liverpool tuntutannya tentu lebih berat, mereka tak ditargetkan hanya untuk bertahan di Premier League musim ini. Empat besar adalah target yang ingin dicapai oleh mereka, setelah tiga musim belakangan hanya mampu finish di papan tengah. Masalah yang sedang dihadapi Liverpool rupanya tak hanya berhenti sampai di situ, kegagalan mereka memenangkan tiga angka di tiga pertandingan kebanyakan karena kesalahan yang dilakukan oleh pemain mereka sendiri selain faktor keberuntungan yang belum berphak kepada The Reds. Blunder yang dilakukan Pepe Reina saat menghadapi Hearts di babak kualifikasi Europa League tak membuat kiper timnas Spanyol itu berhenti melakukan kesalahan. Ia membiarkan Santi Cazorla menjebol gawangnya untuk kali yang kedua saat melawan Arsenal, blunder juga dilakukan oleh Martin Skertl saat memberikan “assist” kepada Carlos Tevez ketika menjamu The Citizen. Tidak hanya disitu, tadi malam Jhonjo Shelvey melakukan tindakan yang merugikan tim saat tim sedang “enak” mainnya, dia diusir wasit karena melakukan tekel keras terhadap Jhonny Evans. Terlihat sekali faktor “ketidakmatangan” seorang Jhonjo di pertandingan besar.

Pada gol pertama, Steven Gerrard yang salah memberikan umpan membuat Arsenal melakukan counter attack dan berhasil mencetak gol perdana mereka musim ini melalui Lukas Podolski. Di pertandingan menghadapi City yang lalu, Martin Skrtel yang melakukan kesalahan besar sehingga mereka gagal meraih kemenangan yang sudah ada di depan mata. Absennya Lucas Leiva di lini tengah Liverpool juga merupakan sebuah kehilangan besar, saat menghadapi Arsenal terlihat tuan rumah kesulitan mengimbangi lini tengah tamunya. Meski Rodgers memasang Nuri Sahin dan Joe Allen di lapangan tengah, namun keduanya mempunyai insting lebih menyerang daripada bertahan, tentu sangat berbeda dengan peran yang dijalani Lucas. Ketika masih berada di Borussia Dortmund dan Swansea, kedua pemain itu tampil cukup baik bagi timnya, namun saat itu mereka punya partner yang sangat disiplin. Di Liverpool, keduanya ingin menjadi seperti Paul Scholes, bukan Michael Carrick di Manchester United. Dan sampai Rodgers belum bisa mencari orang yang tepat untuk menggantikan peran Lucas, mereka masih akan mengalami masalah besar. Hanya berhasil memenangkan dua poin dari maksimal dua belas poin yang bisa dimenangkan, membuat tim ini berada dalam masalah yang cukup serius. Dan ini merupakan start terburuk Liverpool sejak 50 tahun terakhir. Rodgers harus mencari cara untuk bisa segera bangkit.
And process takes time.

Lupakan Sejarah Dan Tatap Masa Depan, Liverpool!

Liverpool harus berhenti terbuai dengan sejarah indah dan harus mampu mengatasi kenyataan pahit, demi masa depan mereka sendiri. Para fans, terlebih para pemain, harus melupakan prestasi gemilang yang pernah dicetak oleh para pendahulunya dan mulai bekerja keras, dari sekarang. Pasalnya penampilan mereka di awal musim ini seolah menjadi cerminan kegagalan di tiga musim sebelumnya. Selama tiga musim lamanya Liverpool harus terseok-seok di Premier League. Dan jika penampilan saat ini tak segera dibenahi, mereka akan mengalami musim keempat berada dalam keterpurukan. Finish di peringkat tujuh, enam, dan delapan, selama tiga musim berturut-turut tentunya merupakan prestasi yang tak bisa dibanggakan oleh tim sebesar Liverpool.

Dimana posisi mereka saat ini? Ya, mereka berada di peringkat 18 klasemen dengan jumlah poin dua dari lima pertandingan. Kalah telak dua kali dari West Brom dan Arsenal serta Manchester United, serta tertahan oleh Manchester City dan Sunderland membuat mereka hanya mampu meraih dua dari dua belas angka yang bisa dimenangkan. Saat ini posisi mereka hanya lebih baik dari QPR dan juga Southampton. Mungkin yang jadi pertanyaan besar bagi kalian para fans Liverpool, mampukah tim kesayangan kalian finish di empat besar Premier League pada bulan Mei nanti? Jawabannya, YA.

Sebagai contoh. Masih ingat Arsenal yang dibantai 8-2 di awal musim lalu oleh Manchester United, namun mampu finish di peringkat tiga dan lolos ke Liga Champion musim ini? Hal ini membuktikan bahwa keajaiban itu ada, asal mereka mau bekerja keras untuk bisa mewujudkannya. Pelatih dan para pemain Liverpool tentunya tak boleh putus harapan, karena pasti selalu ada solusi dan jalan keluar di dalam setiap kesulitan dan masalah. Asal mereka mampu melupakan tiga pertandingan yang sudah berlalu, dan menatap sisa pertandingan dengan optimis. Rodgers harus bisa mengatasi berbagai masalah teknis yang ada pada timnya. Kurangnya striker senior, gaya bermain yang membosankan, blunder yang dilakukan oleh para pemain, dan cidera pemain menjadi faktor teknis yang harus segera dicari solusinya oleh mantan pelatih Swansea tersebut.

Rodgers dituntut untuk bisa memimpin timnya agar bisa lebih fokus menjalani pertandingan demi pertandingan, untuk meraih hasil positif dan mempertahankan hasil tersebut (konsiten). Jika ini bisa dilakukan olehnya, niscaya Liverpool bisa kembali ke kodrat yang sempat lama melekat pada tim ini: The Big Four. Mulai saat ini, Liverpool harus bisa melupakan sejarah manis mereka agar tak terlalu terbuai karenanya. Mereka harus sadar bahwa mereka hidup di masa kini, bukan lagi di masa lalu. Apalah artinya 18 gelar liga jika mereka tak mampu memenangkan gelar ke-19 dalam waktu 20 tahun ke depan (lagi)? Tentunya mereka tak ingin dikenal sebagai ‘History FC’ semata.
Walk on, walk on, but you gotta move on!







»»  lanjut bacanya....

22 September 2012

Jelang “NorthWest Derby” Liverpool vs Manchester United


Rivalitas! Tensi Tinggi!

Sebuah rivalitas abadi dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Saya bicara soal rivalitas, sebuah perseteruan antar dua tim besar. Sebuah perseteruan juga persaingan yang kemudian menyeret banyak hal: amarah, benci, tawa, air mata, dan nyawa. Bara panas di Anfield masih tiga hari lagi. Semua mata dan hati fokus menanti duel yang menyeret emosi jutaan orang itu. Isu penting sudah dirilis: penghormatan untuk korban Tragedi Hillsborough— 15 April 1989, ketika 96 fans Liverpool tewas di salah satu tribun Stadion Hillsborough, Leppings Lane, saat menghadapi Nottingham Forest di semifinal Piala FA. Dua direktur dari kedua klub, Ian Ayre dan David Gill sudah bertemu. Mereka sepakat untuk memberikan penghormatan kepada 96 korban yang tewas karena kegagalan polisi menguasai situasi, dan bukan karena para supporter Liverpool penuh alkohol.

Prosesinya sebelum kick-off. Tiga mosaik disiapkan di tiga sisi Anfield:
1.     Pemutaran tembang “You’ll Never Walk Alone” ketika tim masuk lapangan;
2.      Dari Tribun The Kopada spanduk besar dengan tulisan ‘The Truth’ plus angka 96;
3.   Di Centenary Stand ada paparan kata ‘Justice’. Lalu, 96 balon – symbol dari 96 korban yang tewas, akan dilepas oleh dua kapten dari kedua tim, Steven Gerrard dan Nemanja Vidic.

Alex Ferguson setuju dengan prosesi itu. “Ini bentuk penghormatan kita untuk para korban,” ujarnya. “Ini juga bagian dari tanggungjawab kita untuk memastikan pertandingan nanti itu akan dikenang karena sepakbola,” sebut Gerrard. Sederet komentar yang menarik. Menyejukkan.

Apakah sesejuk itu warna pertandingan kedua bebuyut ini Minggu nanti? Saya harus katakan: tidak! Sekali lagi, baranya panas! Sepanas kancah kuali. Lihat bagaimana Ferguson merotasi pemain dalam dua partai terakhir: MU vs Wigan dan MU vs Galatasaray. Simak juga spirit Wayne Rooney berlatih, melupakan laga vs Galatasaray dan lebih memilih fokus ke Anfield. Liverpool? Sami mawon. Empat laga sudah dilewati mereka di Liga Premier tanpa kemenangan. Era kebangkitan mulai dirasakan skuad Brendan Rodgers saat memainkan hasil imbang 1-1 kontra Southampton. Dan, tahukah Anda, demi sebuah rivalitas abadi, mala mini Rodgers menyimpan hampir separuh skuadnya ketika melawat ke kandang Young Boys dalam laga pertama fase grup Liga Europa.

Tidak ada Gerarrd, Luis Suarez, Pepe Reina, Glen Johnson, Martin Skrtel, Daniel Agger, Joe Allen hingga Martin Kelly. “Liga Premier adalah prioritas kami,” ujar Rodgers. Hmm… Secara implisit, yakinilah, itu kalimat bersayap dia: “Manchester United adalah prioritas kami.” Ketika ada upaya untuk mendinginkan panasnya rivalitas kedua tim, jelang Derby of England – banyak orang juga bilang ini North-West Derby — ketika itu pula kedua tim terus menjaga keabadian rivalitas mereka.

Nah, bicara rivalitas memang menarik. Semua ini bermula dari derby, dalam arti local derby: pertarungan dua tim satu kota yang membuat partai itu bergengsi. Tapi kemudian istilah derby berkembang luas. Tak hanya melibatkan tim-tim yang berada dalam satu kota tapi juga melibatkan tim-tim besar dengan tingkat rivalitas tinggi. Dan, buat tim, apalagi para supporter, derby dengan rivalitas tinggi ini adalah simbol terhadap kebanggaan, fanatisme, status sosial dan harga diri. Di situ ada kegembiraan, kesedihan, kebencian, amarah. Mediumnya variatif: spanduk caci maki, poster penghinaan, lagu, slogan, yel-yel. Maka, kalau sudah begini, sepakbola yang keras, indah, impresif, mengagumkan bisa menjadi masalah hidup dan mati. Sekali lagi, di situ ada gengsi dan harga diri.

Liverpool vs United masih tiga hari lagi. Tapi gengsi dan harga diri orang-orang di belakang kedua tim sudah terasah sejak setengah abad silam. Sesuatu yang juga bisa dirasakan dalam beberapa partai dengan tajuk rivalitas abadi di beberapa Negara lain. Keindahan sepakbola bisa berubah menjadi bencana ketika kebencian, status sosial, harga diri, perasaan tertindas, pengakuan dan banyak lagi, mulai dimainkan. Dan cerita soal ini bederet, hampir di seluruh permukaan bumi. Ya, magis sepakbola bisa melahirkan kerusuhan, bentrok, chaos. Semua soal hidup dan mati. Ada banyak derby dengan rivalitas abadi yang bisa jadi contoh. Brasil punya ‘Derby Paulista’, Corinthians vs Palmeiras, duel dua tim dari kota tertua Sao Paulo yang pernah menjadi bagian dari film Romeo And Juliet. Yunani punya Olympiakos vs Panathinaikos yang dikenal dengan laga ‘Gate 7’ vs ‘Gate 13’. Di Turki ada derby Fenerbahce vs Galatasaray, dua tim dari kota Istanbul yang hanya dipisah selat Bosporus.

Argentina punya ‘SuperClassico’, Boca Juniors vs River Plate yang berdarah-darah. Sama seperti ‘Egypt Derby’, Zamalek vs Al-Ahly, sampai pihak keamanan Mesir harus membuat rute jalan yang berbeda untuk para supporter kedua tim. Di Serbia ada derby abadi, Partizan vs Red Star yang kalau kedua tim berlaga, kota Beograd seperti kuburan. Tahu The Old Firm? Ini adalah tajuk derby antar dua rival dari kota Glasgow, Celtic vs Rangers. Dan, tahukah Anda, setiap usai laga, pasien rumah sakit di kota Glasgow naik 17 persen? Ahahaa.. Kita pindah ke Italia. Di situ ada Della Madonnina, ibu segala derby – maklum patung Bunda Maria ada di Milan — yang mempertemukan AC Milan vs Internazionale. Ada juga derby Della Capitale: Roma vs Lazio yang terkenal ‘mengerikan’ dengan symbol ‘Curva Sud’ vs ‘Curva Nord’. Di kota Turin ada derby della Mole: Juventus vs Torino. Secara nasional, saya juga harus sebut Derby Italia antar Juventus vs Inter, sama seperti derby Prancis: Paris SG vs Marseille.

Di Spanyol, yang paling terkenal tentu saja El-Classico Madrid vs Barcelona, dua klub besar dan paling sukses yang mewakili dua daerah seteru, Katalunya vs Kastil. Rivalitas mereka diperparah ketika Bernd Schuster (1988), Michael Laudrup (1994) dan Luis Figo (2000) membelot ke Real Madrid dan Luis Enrique membelot ke Barcelona tahun 1996. Kalau Belanda punya De Klassieker, Ajax Amsterdam vs Feyenoord Rotterdam, tapi yang paling seru tentu saja ‘Derby of Indonesia’, Persija Jakarta vs Persib Bandung. Ini laga dengan tensi tinggi, rawan, dan kerap menyulitkan aparat keamanan. Hampir mirip misalnya dengan permusuhan Persebaya-Arema Malang atau Persisam Samarinda-Persiba Balikpapan. Cukup banyak memang contoh partai-partai dengan label derby dan dengan rivalitas tingkat atas. Semuanya menyodorkan tensi tinggi, mengurasi emosi, mengumbar kebencian, meluapkan amarah dan menyodorkan cerita-cerita chaos. Dan lagi-lagi saya harus katakan sumbernya luar-dalam, teknis-nonteknis. Soal harga diri, kesenjangan ekonomi, perasaan tertindas, gengsi, keakuan, sikap-sikap egosentris yang kemudian berkembang menjadi “warna lain” dari keindahan sepakbola itu sendiri.

Banyak memang upaya untuk memunculkan perdamaian. Derby Merseyside misalnya, ketika fans Everton dan Liverpool pernah mengajukan slogan ‘Merseyside United’, tapi tak pernah berakhir dengan senyum. Sama seperti upaya perdamaian The Jak dengan Viking yang masih sebatas wacana. Atau juga Derby of Great London, Arsenal vs Chelsea, yang kalau mereka berlaga maka kota London dibelah warna merah dan biru. Jika ada ‘Tribute of Hillsborough’ pada Minggu (23/9) ini dalam ‘Derby of England’ Liverpool vs Manchester United, lantas apakah rivalitas mereka akan jadi sejuk dan tensinya jadi menurun? Dan lalu kita semua hanya akan menyaksikan para bintang berlaga tidak dengan label kebencian, kemarahan, gengsi, harga diri? Dan lalu juga kita tidak akan menyaksikan para supporter meninggalkan Anfield dengan damai, berangkulan, dan tanpa rusuh?
Rivalitas dengan tensi tinggi Liverpool vs United ini memang meninggalkan banyak cerita. Dan, seperti yang juga berlaku kebanyakan di banyak label derby lainnya, maka derby of England ini juga banyak dipicu oleh aksi-aksi pemain dan, jangan bantah: fans! Sebuah rivalitas dengan tensi tingkat tinggi yang wajib dinanti.

Sejarah Panjang Rivalitas MU dan Liverpool

Beberapa orang berpikir sepak bola adalah hidup dan mati. Tapi saya yakinkan Anda, ini akan jauh lebih penting daripada itu semua.“- William “Bill” Shankly.

Pernyataan yang dilontarkan dari bibir manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, itu seakan menjadi gambaran sesungguhnya ketika menyaksikan rivalitas terbesar dalam ziarah sepak bola Inggris antara Liverpool dan Manchester United. Nama besar kedua tim seakan menjadi ikon yang tak bisa lepas dan saling melengkapi satu sama lain di dalam ranah sepak bola Inggris saat ini. Jika ditarik ke belakang, rivalitas Liverpool dan MU ini tak bermula dari urusan lapangan semata. Dunia bisnislah yang pertama kali membuat api rivalitas menggelora dalam sejarah dua klub tersebut. Pada abad ke-19, hubungan kedua kota itu awalnya sangat harmonis, karena Liverpool terkenal sebagai kota pelabuhan besar di Inggris, dan Manchester merupakan kota pertama yang perekonomiannya cukup maju semenjak revolusi Inggris.

Namun, hubungan manis itu harus retak pada akhir 1878. Depresi dunia ketika itu, membuat Manchester “menyalahkan” Liverpool karena dianggap telah memberlakukan tarif tinggi bagi jalur distribusi produk-produk mereka. Kecewa, Manchester lantas membangun pelabuhan sendiri untuk mendistribusikan hasil industri kotanya ke seluruh dunia pada 1894. Langkah itu, secara tidak langsung akhirnya membuat pendapatan kota dan penduduk di Liverpool turun dengan drastis. Semenjak inilah awal aroma kebencian masyarakat kedua kota itu terjadi. Para Scouse, sebutan warga Liverpool, menilai Mancunian, sebutan bagi warga Manchester, sebagai biang kerok dibalik kekacauan yang terjadi di kotanya.

Kebencian ini pula yang kemudian merasuki ranah sepak bola. Untuk urusan lapangan hijau, Liverpool memang lebih dulu “besar” dibanding dengan MU. Meskipun MU merupakan tim Inggris pertama yang memenangkan Piala Champions pada 1968, namun kesuksesan di era tersebut memang harus diakui adalah milik Liverpool. Memasuki era 1970-an, di bawah kepemimpinan Bill Shankly, Liverpool berubah menjadi raksasa sepak bola di Inggris maupun di Eropa. Di era ini, Liverpool menyabet 11 gelar juara Liga dan empat juara Piala FA. Termasuk juga prestasi mereka meraih Treble Winners pada tahun 1984 dengan menyandingkan gelar juara Liga dengan Piala FA dan Piala Champions. Bahkan, pada 1974, “The Reds” dapat tertawa bangga karena dapat meraih sukses di papan atas Liga dan Piala FA disaat MU harus rela bermain di Divisi II.

Rivalitas itu kembali memanas memasuki era 1990-an, ketika pelatih asal Skotlandia, Sir Alex Ferguson, memulai karirnya bersama MU. Bahkan, di awal karirnya itu, Ferguson sempat dengan lantang mengatakan bahwa hal terindah bagi dirinya adalah ketika “memukul” Liverpool yang sedang berada di puncak kesuksesan. Dan pernyataan itu, bukanlah isapan jempol semata. Fergie membuktikannya tiga tahun setelah memulai karirnya bersama MU pada 1986. Fergie memberikan gelar Piala FA pertamanya untuk MU pada 1990. Setelah itu, giliran MU yang berubah bak raksasa Inggris dan dapat tertawa manis di atas “kesuksesan” Liverpool yang terakhir kali meraih gelar Liga Inggris pada 1989. Di era ini, MU mampu meraih 11 gelar juara liga dan 2 kali juara Liga Champions. Secara keseluruhan, gelar juara Premier League tahun lalu telah menjadikan MU sebagai pemegang koleksi juara terbanyak dengan 19 gelar, mengalahkan Liverpool dengan 18 gelar.  Namun, jika melihat gelar di Eropa, Gerrard dan kawan-kawan jelas lebih unggul dengan raihan lima gelar Liga Champions dibanding MU yang baru mengantongi tiga gelar.

Persaingan keduanya betul-betul sangat berlatar belakang ekonomi. Manchester dikenal karena industrinya. Liverpool karena pelabuhannya. Penduduk Liverpool saat itu betul-betul menikmati kejayaan ekonomi karena semua ekspor di kawasan barat laut Inggris harus melalui kota pelabuhan ini. Tapi sejak tahun 1887-1894 dibangunlah sebuah kanal sepanjang 58 km yang memberi Manchester akses langsung ke laut. Sejak saat itu runtuhlah kejayaan Liverpool. Ribuan orang menganggur. Muncullah kebencian terhadap kota Manchester. Kebencian ini diwariskan dari ayah pada anak-anaknya, lalu pada cucu-cucunya, dan seterusnya sampai saat ini. Pada periode 1970-1980 kedua kota sama-sama menderita karena kelesuan ekonomi yang melanda seluruh dunia. Tapi penduduk Liverpool masih bisa terhibur oleh penampilan The Reds yang mencapai puncaknya pada periode ini. Mereka juara liga 5 kali di masa ini. Sebanyak lima kali juga merebut trofi di level Eropa.

Sementara di saat yang sama Manchester United (dan juga Manchester City) tengah mengalami periode lesu darah paling kelam dalam sejarah mereka. Ini menghasilkan semacam balas dendam dari Liverpool dalam bentuk ejekan-ejekan yang mendidihkan darah warga Manchester. Mungkin juga kebangkitan Manchester diawali dari masa itu. Sebab setelah itu, giliran grafik prestasi The Reds yang terus menurun. Sampai hari ini, rivalitas keduanya secara statistik membuktikan MU lebih unggul 72 vs 62, dengan 51 laga lainnya draw. Tidak heran jika pertarungan keduanya merupakan salah satu yang paling ditunggu, bukan saja di Inggris tapi juga di seluruh dunia. Laga derby Inggris terakhir berujung dengan skor 2-1 untuk tuan rumah MU, meski di 3 laga sebelumnya Liverpool yang menang atau draw.
Saking kerasnya persaingan antar keduanya, tak ada transfer pemain antar kedua klub sejak tahun 1964. Kalau pun ada pemain salah satu klub yang akhirnya bermain di klub rivalnya, mereka melalui klub lainnya terlebih dulu, misalnya adalah Michael Owen yang terlebih dulu main di Real Madrid dan Newcastle United. Selain itu juga ada nama legendaris Paul Ince yang terlebih dulu main di Inter Milan.

5 Laga Penuh Rivalitas

Riuh rendah penonton perlahan semakin nyaring seiring ditiupnya peluit pada sebuah pertandingan. Rivalitas dua tim, inilah yang membuat sebuah olah raga dapat terus berjalan. Batas wilayah, kesuksesan tim, bahkan terkadang alasan yang tidak terlalu jelas bagi para pendukung fanatik sebuah tim sekalipun dapat menjadi akar sebuah rivalitas. Rivalitas merupakan sebuah bagian penting dalam sebuah pertandingan, sama pentingnya seperti sebuah bola dan peluit, hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah pertandingan. Italia memiliki Derby Roma, Spanyol punya El Classico, dan Skotlandia dengan The Old Firm mereka. Satu rivalitas yang tidak mungkin disaingi semua laga tersebut adalah kebencian antara dua tim tersukses di daratan Inggris, yaitu Liverpool dan Manchester United. Sangat menarik bila ditanya soal rival terbesar pendukung Liverpool, mereka akan kompak menjawab, “Kami benci Mhancunian!”. Jawaban penuh kebencian yang segera akan muncul kembali.

Sejarah panjanglah yang memperpanas rivalitas kedua tim ini. Posisi United sebagai pemimpin pemimpin dalam raihan trophy liga ini telah menambah panjang rentetan kebencian Fans Liverpool. Jika United berhasil menyabet gelar EPL tahun ini, torehan gelar EPL Liverpool akan berada pada urutan ke-dua, dua gelar tertinggal dari United. Tentu The Kop tidak menyukai urutan ke-dua. Berikut adalah lima ulasan laga paling panas yang dapat memberi gambaran rivalitas kedua tim selama beberapa dekade terakhir. Berbagai raihan positif keduanya telah memberi sumbangan terhadap luapan emosi para pendukung mereka yang akan menyaksikan pertemuan keduanya Minggu malam nanti dengan kostum kebanggaan masing-masing. Ada banyak hal di antara rivalitas keduanya tapi beberapa ulasan berikut cukup mewakili gambaran persaingan kedua tim.

24 Januari 1999: “Treble Winner Pertama United”
Manchester United 2 Liverpool 1
Musim 1999 tidak akan dilupakan fans United. Tiga gelar yang diperoleh United di ajang Liga Premier, FA Cup, dan European Cup dibumbui dengan kemenangan penting atas Liverpool pada putaran ke-empat FA Cup. Anak ajaib Liverpool, Michael Owen, membuka keunggulan Liverpool di menit ke-3 sekaligus membuat puluhan ribuan pendukung United membisu. Langkah United seakan terhenti sebelum pertandingan berakhir hingga akhirnya Yorke menyamakan kedudukan pada menit ke-88. Solkjaer mungkin tepat dijuluki The Baby’s face Assassin karena golnya di menit ke-90 berhasil menyingkirkan Liverpool dari ajang FA Cup. Tahun 1999 United berhasil melewati semua tim yang menghalangi mereka untuk mendapatkan treble winner pertama mereka. Dibutuhkan usaha keras hingga menit akhir untuk dapat mewujudkan pencapaian ini. United membuktikan bahwa mereka adalah tim yang solid dan mampu mewujudkan pencapaian terbaik mereka.

17 Desember 2000: “Pernyataan Fenomenal Houllier”
Manchester United 0 Liverpool 1.
United selalu menang atas Liverpool selama sepuluh pertandingan terakhir kala itu. Yang menarik adalah sebuah pernyataan fenomenal dari manajer Liverpool saat itu, Gerard Houllier, yang dilontarkan sebelum pertandingan. “Kita akan mengalahkan mereka suatu hari nanti, saya bersumpah!”, ujar Houllier yang membakar semangat. Pernyataan itu terbukti berhasil mengakhiri tradisi kemenangan United atas Liverpool. Tendangan bebas Danny Murphy sesaat sebelum turun minum berhasil membungkam pendukung Red Devils sekaligus mengakhiri kutukan United atas Liverpool. Walaupun kalah, United berhasil mengakhiri musim itu dengan trofi EPL di tangan mereka. Liverpool juga berhasil meraih treble winners, tiga piala mereka peroleh dari Worthington Cup, FA Cup dan yang terakhir adalah UEFA Cup. Akhir manis bagi kedua tim.

22 Januari 2006: “Gary Neville dan Selebrasi Provokatif”
Manchester United 1 Liverpool 0
Laga ini menjadi alasan mengapa para fans setan merah begitu mencintai mantan skipper United ini. Terutama cara ia mengajari fans Liverpool tentang arti rasa terhina yang sebenarnya. Dalam laga ini walaupun Liverpool memiliki sejumlah peluang emas untuk mencetak gol namun lini depan mereka sering membuang kesempatan itu. Kemenangan United ditentukan lewat umpan silang Giggs yang diselesaikan dengan sundulan keras Rio Ferdinand ke arah gawang Liverpool. Gol tercipta dan Neville melakukan selebrasi tepat di depan pendukung Liverpool. Selebrasi ini berimbas denda sebesar £5000 kepada Neville dan tentu saja memicu kekacauan setelah pertandingan berakhir.

23 Maret 2008: “Mascherano Keluar, Liverpool Rata”
Manchester United 3 Liverpool 0
Diusirnya Javier Mascherano benar-benar membawa kehancuran bagi Liverpool kala itu. Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, serta Ryan Giggs benar-benar leluasa dalam membombardir pertahanan Liverpool. Di akhir musim United berhasil memastikan tim mereka merajai daratan Inggris dan Eropa. Membiarkan Liverpool beserta kebencian suporternya terhadap Setan Merah yang semakin menjadi. Bagi Liverpool, musim ini tentunya merupakan salah satu musim terpahit dengan tidak adanya gelar yang mereka dapatkan. Liverpool juga harus pulang lebih awal dari Liga Champion setelah kalah dari Chelsea. Luka Liverpool seakan ditaburi garam dengan kepastian gelar Liga Premier yang diperoleh United didapat dengan mengalahkan Liverpool di laga pamungkas mereka. Satu hal yang akan selalu dikenang oleh para fans Liverpool.

14 Maret 2009: “Pembantaian di Old Trafford”
Manchester United 1 Liverpool 4
Kekalahan dari Liverpool di musim ini adalah salah satu yang paling parah pada era sepak bola moderen. Laga ini patut dikenang dengan suguhan duel antara Torres dan Vidic. Vidic yang memperoleh predikat pemain belakang terbaik di musim sebelumnya tampil melempem menghadapi kualitas teknik ujung tombak Liverpool, Fernando Torres. Pada konfrensi pers setelah pertandingan, Sir Alex bahkan mengakui keunggulan Liverpool. Fergie malah berpendapat bahwa Liverpool seharusnya bisa unggul lebih dari tiga gol. Sesuatu yang tentunya jarang dilakukan seorang manajer United.


»»  lanjut bacanya....

18 September 2012

Hasil Lengkap Drawing UEFA Europe League 2012-2013


Beberapa grup menarik pun muncul dari pengundian fase grup ini. Pertandingan-pertandingan menarik antara klub-klub ternama di Eropa dipastikan akan terjadi. Misalnya saja di Grup A, terdapat Liverpool dan Udinese, wakil dari EPL dan Serie A. Hasil Drawing Europa League telah diumumkan oleh UEFA. Gelar kejuaraan ini sebelumnya dimenangkan oleh Atletico Madrid, yang pada perhelatan musim lalu berhasil mengalahkan Athletic Bilbao di final. Musim ini, Liverpool, Tottenham Hotspur dan Newcastle mewakili Inggris di ajang ini. Lazio, Udinese, Inter Milan dan Napoli juga mengikuti kejuaraan, yang disebut sebagai kejuaraan nomor dua di Eropa, setelah Liga Champions.

Hasil drawing/undian Liga Europa atau Europa League musim 2012-2013 memberi keuntungan tersendiri bagi juara bertahan Atletico Madrid yang berada di grup empuk. Sementara itu, Liverpool menjadi salah satu klub yang kurang beruntung karena sudah harus bertemu dengan Udinese dan Anzhi Makachkala di babak penyisihan grup. Klub-klub terkenal Eropa lain seperti Internazionale, Lazio, dan Tottenham Hotspur, juga berpeluang membuka jalan untuk mendekati partai final yang akan diselenggarakan pada 15 Mei 2013 mendatang. Juara bertahan Atletico Madrid mendapatkan lawan-lawan yang relatif ringan. Selain Academica (Portugal), musuh yang dihadapi pasukan Diego Simeone hanyalah Hapoel Tel-Aviv (Israel) dan Viktoria Plzen (Republik Ceko). Hal yang membuat optimisme kubu Vicente Calderon melayang tinggi untuk mendapatkan gelar beruntun di Europa League.


 Sementara itu, Liverpool akan berada di grup maut. Mereka akan ditantang oleh Udinese yang berpotensi mengganggu perjalanan The Reds. Ada pula Anzhi Makachkala (Rusia) yang diperkuat Samuel Eto’o. Satu lawan lain yang mungkin akan menjadi tempat mendulang poin di Grup A, adalah Young Boys (Swiss). Klub-klub elite Eropa lain, mendapatkan grup yang nyaman untuk memastikan tiket ke babak 32 besar. Sebutkanlah Internazionale. Klub asal Italia ini memang bisa berduel ketat dengan Rubin Kazan (Rusia). Namun, dua lawan sisa di atas kertas mudah ditaklukkan. Mereka adalah Partizan Belgrade (Serbia) dan Neftci Baku(Azerbaijan). PSV dan Napoli memang akan gontok-gontokan di Grup F. Meskipun demikian, secara teknis mereka juga akan mampu melewati Dnipro Dnipropetrovsk (Ukraina) dan AIK (Swedia). Demikian pula Tottenham Hotspur dan Lazio yang akan mati-matian bertarung di Grup J. Andai waspada, mereka bisa melewati Panathinaikos (Yunani) dan NK Maribor (Slovenia). 

Adapun peserta untuk musim ini semuanya ada 48 klub dan dibagi ke dalam 12 grup yang masing masing berjumlah empat klub pada setiap grupnya. Untuk pagelaran hari pertandingan akan dilaksanakan sebagai berikut :

Matchday pertama : 20 September 2012
Matchday kedua : 4 oktober 2012
Matchday ketiga : 25 Oktober 2012
Matchday keempat : 8 November 2012
Matchday kelima : 22 November 2012
Matchday keenam : 6 Desember 2012

Peraturan yang dilaksanakan pada tahun ini adalah :
  1. Setiap klub akan bertanding dua kali dengan setiap lawan dan dilaksanakan sesuai sistem kandang tandang.
  2.  Dari setiap grup dua klub peringkat teratas akan melaju ke babak selanjutnya ditambah dengan 8 klub peringkat ketiga setiap grup liga champions sehingga jumlahnya pas 32 klub pada fase knock out.
  3. Penentuan juara grup berdasarkan jumlah poin yang diperoleh dari hasil pertandingan dimana 3 poin untuk menang, 1 poin masing masing untuk seri dan nol untuk kekalahan.
  4. Apabila poin sama penentuan selanjutnya berdasarkan aggregat gol terbaik, jumlah memasukan, jumlah memasukan dikandang lawan, dan koefisien klub di tingkat eropa

 Hasil lengkap pengundian babak grup Liga Europa:
Grup A: Liverpool, Udinese, Young Boys, Anzhi
Grup B: Atletico Madrid, Hapoel Tel-Aviv, Plzen, Academica
Grup C: Marseille, Fenerbache, Monchengladbach, AEL
Grup D: Bordeaux, Club Brugge, Newcastle, Maritimo

Grup E: Stuttgart, Kobenhavn, Steaua, Molde
Grup F: PSV, Napoli, Dnipro, AIK
Grup G: Sporting, Basel, Genk, Videoton
Grup H: Inter, Rubin Kazan, Partizan, Nftci

Grup I: Lyon, Athletic Bilbao, Sparta Praha, Kiryat Shmona
Grup J: Tottenham, Panathinaikos, Lazio, Maribor
Grup K: Leverkusen, Metalist, Rosenborg, Rapid Wien
Grup L: Twente, Hannover, Levante, Helsingborg
Babak penyisihan grup Europa League yang akan dimulai sejak 21 September 2012 ini masih berpotensi memunculkan kejutan. Klub-klub terkenal yang meremehkan lawan bisa saja terjengkang. Siapakah yang akan mencapai final yang akan diselenggarakan di Amsterdam Arena, Belanda? Apakah Atletico Madrid akan mengulang prestasi musim lalu? Ataukah kini giliran Liverpool, Internazionale, Lazio, Marseille, atau bahkan Levante untuk unjuk gigi?
»»  lanjut bacanya....